Sabtu, 06 Desember 2014

Intervensi Dini Pada Anak dengan Hambatan Perkembangan Kognitif

A.    Perkembangan Kognitif
Yang dimaksud dengan perkembangan kognitif adalah perkembangan anak dalam proses pembentukan konsep dan pengertian. Suppes (1974) menjelaskan bahwa kognisi merupakan bidang yang luas yang meliputi semua keterampilan akademik yang berhubungan dengan wilayah persepsi. Messen, Conger, dan Kagan (1974) menjelaskan bahwa kognisi paling sedikit terdiri dari lima proses, yaitu : (1) persepsi, (2) memori, (3) pemunculan ide-ide, (4) evaluasi, (5) penalaran. Proses-proses itu meliputi sejumlah unit yaitu skema, gambaran, symbol, konsep, dan kaidah-kaidah. Kognisi juga terkait dengan proses dimana pengetahuan itu diperoleh, disimpan, dan dimanfaatkan. Irene Athey (1985) menyatakan bahwa perkembangan kognitif seseorang akan berkembang sesuai dengan usia, mengikuti dimensi-dimensi mulai dari hal yang sederhana menuju ke yang kompleks, dari sesuatu yang subyektif menuju yang obyektif, dan dari yang dikenal menuju yang asing.
Dalam mengkaji perkembangan kognitif, tokoh yang paling terkenal adalah Piaget. Pengaruh Piaget terhadap pendidikan dan psikologi sangat dalam, terlebih-lebih pada masa dua decade terakhir. Karenanya teori Piaget tentang perkembangan kognitif anak berkelainan saat ini telah menjadi konsep pendidikan yang tidak dapat diabaikan. Teori Piaget menetapkan kerangka kerja fungsional untuk melakukan tinjauan terhadap perkembangan kognitifperseorangan yang mempunyai hambatan dalam perkembangan mental, social, fisik, dan intelegensi.
Piaget menegaskan prinsip dasar dari perkembangan kognitif sesungguhnya serupa dengan apa yang ada dalam perkembangan biologis. Adaptasi dan pengorganisasian lingkungan merupakan proses yang tidak terpisahkan dan merupakan mekanisme tunggal dari aspek internal yang melakukan adaptasi berdasarkan aspek eksternal. Lebih lanjut ia menyatakan kegiatan intelektual tidak dapat dipisahkan dari “keseluruhan” keberfumgsian kehidupan seseorang.
Keberfungsian intelektual merupakan bentuk khusus dari kegiatan yang bersifat biologis dan merupakan proses secara menyeluruh dimana kehidupan seseorang saat melakukan adaptasi terhadap lingkungan berpegang pada seluruh hasil pengalaman-pengalamannya. Selanjutnya, dalam menjelaskan perkembangan kognitif, Piaget mengajukan adanya empat konsep utama, yaitu :
1.      Skema
Skema ialah struktur-struktur kognitif atau mental yang diperolehi oleh individu untuk menghadapi situasi lingkungan. Skema tidak tunggal dan statis, tetapi banyak terus berubah seiring dengan perkembangan intelektualdan bertambahnya pengalaman. Skema menjadikan individu cenderung melakukan pengulangan, yaitu sebagai suatu strategi kognitif dalam menghadapi situasi yang serupa, namun bukan berarti mengabaikan pembentukan skema baru walaupun faktor-faktor situasional tidak menuntut untuk melakukan hal tersebut.
2.      Asimilasi
Asimilasi ialah proses kognitif yang dilakukan oleh individu dengan mengintegrasikan atau mengorganisasikan pangalaman baru kedalam struktur kognitif atau skema yang sudah ada. Proses ini berlangsung sepanjang masa. Asimilasi analog dengan memasukkan angin kedalam balon atau memasukkan catatan baru dalam file yang sudah ada, sehingga balon menjadi besar atau file menjadi lebih lebih banyak isinya, yang berarti terjadi perubahan kuantitatif. Dalam proses asimilasi tidak dihasilkan skema baru, karena menggunakan skema yang sudah ada.
3.      Akomodasi
Ketika individu menghadapi mendapatkan pengalaman baru, maka ia akan mencoba mengasimilasikan kedalam skema yang sudah ada. Namun apabila hal ini tidak dapat dilakukan karena tidak ada kesesuaian, maka ada dua kemungkinan yang akan dilakukan, yaitu : (1) memodifikasi skema yang sudah ada untuk menerima pengalaman barutersebut, atau (2) membentuk skema baru. Kedua proses ini disebut akomodasi. Melalui proses akomodasi ini maka terjadi perubahan kualitatif atau perkembangan skema (development of schema).
4.      Keseimbangan
Dalam berinteraksi dengan lingkungan atau kehidupan sehari-hari individu senantiasa berupaya untuk mewujudkan keseimbangan, yaitu keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi melalui proses adaptasi. Ketidakseimbangan (disequilibrium) ialah keadaan tak seimbang antara asimilasi dan akomodasi atau ketika salah satu kegiatan (asimilasi/akomodasi)berlangsung berlebihan, manguasai yang satu atau yang lainnya.
Selanjutnya, teori Piaget tentang perkembangan terdiri atas empat tahapan yang berbeda, yaitu : (1) Tahap Sensori Motor (MA=0-1,5 atau 2 tahun); (2) Tahap Berfikir Secara Pra-Oprasional (MA=2-7 tahun); (3) Tahap Operasi Konkret (MA=11 hingga 12 tahun lebih) (Wadsworth, 1984 : 35-171). Sedangkan kemampuan kognitif yang muncul pada setiap tahapan sebagai berikut :
1. Pada masa tahapan sensorimotor-intelegensi gerak merupakan tindakan perilaku utama, perkembangan gerak dan perkembangan kognitif secara konstan berinteraksi, artinya bahwa gerak selalu berhubungan dengan proses berfikir dan muncul sebagai akibat perilaku yang terjadi melalui gerak tubuh. Pengetahuan anak diperoleh melalui interaksi fisik, baik dengan orang atau benda. Anak belum dapat berfikir secara konsep, perkembangan kognitifnya terbentuk oleh adanya skemata, skema-skema baru berbentuk refleks-refleks sederhana seperti menggenggam atau menghisap. 
2. Pada tahapan pre-operasional, dicirikan dengan adanya perkembangan berbahasa segera “ego-centric speech”disamping bentuk lain seperti : symbol-simbol untuk merepresentasikan lingkungan secara kognitif sebagai gambaran dari perkembangan konseptual secara cepat. Saat ini pemikiran merupakan prelogikal dan semilogikal.
3. Pada tahapan operasi konkret, anak mulai mengembangkan kemampuan untuk menerapkan pemikiran secara logis kearah permasalahan yang bersifat konkret. Pada tahapan ini, anak dapat membentuk operasi-operasi mental atas pengetahuan yang mereka miliki. Mereka dapat menambah, mengurangi, dan mengubah. Operasi ini memungkinkannya untuk dapat memecahkan masalah secara logis.
4.    Pada tahapan operasi formal, bentuk kognitif anak mencapai tingkat perkembangan cukup tinggi. Pada saat ini anak mulai berkemampuan menerapkan alasan logis terhadap masalah. Periode ini merupakan operasi mental tingkat tinggi. Disini anak dapat berhubungan dengan peristiwa-hipotesis atau abstrak, tidak hanya dengan objek konkret.
  
         Terkait dengan intervensi dini, maka perkembangan kognitif yang terjadi pada anak berada pada tahap sensori motor dan pra operasional. Karakteristik utama dari sensori motor adalah hubungan timbale-balik yang sangat erat antara kegiatan fisik dan intelegensi. Pada tahap ini perkembangan kognitif terjadi melalui penggunaan refleks-refleks yang dibawa sejak lahir serta tindakan-tindakan indrawi. Karena itu pada masa ini bayi sibuk untuk menemukan hubungan antara tindakan mereka dengan akibat dari tindakan tersebut. Misal, mencoba meraih benda, mendorong piring yang ada di meja, dan sebagainya. Melalui berbagai pengalamannya, bayi mulai mengembangkan konsep diri bahwa mereka terpisah dari dunia luar. Konsep yang terjadi pada tahap ini adalah adanya benda permanen. Artinya pemahaman benda itu tetap ada meskipun benda itu tidak terjangkau oleh inderanya. Misalnya, sekalipun pada tahap awal anak menunjukkan reaksi diam ketika suatu benda ditutupi kain, tetapi pada akhirnya menyadari bahwa benda itu tetap ada, sehingga ia berusaha untuk membuka tutup kain tersebut. Berikutnya mulai aktif mencari benda ke tempat ke tempat biasa disembunyikan atau terakhir kali dilihatnya.
         Saat anak mulai mampu menyampaikan gagasannya secara simbolik dengan menggunakan kemampuan berbahasa, maka saat simbolik dengan menggunakan kemampuan berbahasa, maka saat itu ia mulai siap untuk memasuki ke jenjang tahapan berikutnya. Pada peride pra-operasional, kegiatan seorang anak mulai dipenuhi dengan imajinasi dan mulai nampak peningkatan kemampuannya dalam menggunakan bahasa sehingga ia secara cepat dapat belajar sebanyak mungkin tentang lingkungannya.
    Anak melihat adanya keindahan hidup dan merasa senang dalam meningkatkan ketrampilan berkomunikasi melalui kegiatan alamiah, membiarkan keadaan alamiah tanpa pengrusakan, dan membuat suatu cerita yang luar biasa. Setelah menguasai kemampuan ini, merupakan tahapan operasi konkret dimana anak mampu memecahkan masalahnya, percakapan meningkat baik segi isi maupun maknanya, saat ini aturan dapat diterapkan. Aturan perlu dibenahi, kesalahan dalam belajar perlu diluruskan sesuai dengan peraturan sebenarnya. Saat mereka terpojok, biasanya mereka mulai melakuka pembelaan dengan berbohong, anak mulai erasakan berbohong itu dapat dibenarkan.
          Sutjihati (1996) menyebutkan bahwa ciri-ciri yang terjadi pada tahap praoperasional adalah :
1.      Anak mulai belajar menggunakan bahasa dan menggambarkan obyek dengan imajinasi dan kata-kata
2.      Proses pemikiran masih bersifat egosentris. Belum mampu mengembangkan kemampuan untuk memandang suatu masalah dari berbagai sudut. Mereka meyakini bahwa segala sesuatu sebagaimana Nampak pada mereka, sehingga sulit untuk menerima pandangan oranglain.
3.         Cenderung memusatkan perhatian mereka kepada para ciri-ciri yang paling menarik dari stimulus (kecenderungan memusat). Dalam mengklasifikasi misalnya, anak mampu mengelompokkan benda berdasar warnanya tetapi tanpa memperhatikan bentuknya atau mengelompokkan berdasar bentuknya tetapi mengabaikan warnanya.
4.   Kemampuan berpikirnya masih irreversible (tidak bersifat bolak-balik). Belum mampu berpikir maju dan mundur tanpa distorsi. Atau memahami asas-asas konservasi sebagaimana adanya. Yaitu bahwa jumlah suatu bahan tidak berubah jika bentuknya diubah atau dibagi dalam bagian atau zat cair tidak akan berubah volume atau beratnya jika dituangkan dari satu tempat dengan bentuk tertentu ke tempat lain dengan bentuk lain.
5.  Anak belum mampu melaksanakan penalaran secara rasional. Pemikiranyya melompat pada kesimpulan hubungan sebab-akibat hanya berdasar atas kesejajaran unsure-unsur dalam situasi yang bersifat sederhana. Missal, ketika melihat ibunya membawa tas berarti mau pergi kerja.

            Secara umum, pada tahap praoperasional anak belum memiliki ketrampilan kognitif dengan dasar baik, baik dalam klasifikasi, seriasi, korespondensi, maupun konservasi. Klasifikasi yaitu kemampuan mengelompokkan obyek berdasarkan atribut dari obyek tersebut. Misalnya; mengelompokkan dua atau tiga bentuk geometri. Seriasi, yaitu kemampuan dalam mengurutkan susunan suatu obyek berdasarkan atribut dari obyek tersebut. Misalnya dalam menyusun obyek dari yang paling panjang ke urutan yang paling pendek. Korespondensi, yaitu kemampuan dalam memahami jumlah dari dua kelompok obyek dalam karakteristik yang berbeda. Misalnya, pemahaman bahwa lima buah apel dan lima buah semangka, memiliki jumlah yang sama. Sedangkan konservasi, yaitu pemahaman terhadap kekekalan suatu obyek, sekalipun ada perubahan posisi atau tempat atas obyek tersebut.
            Perkembangan kognitif sebagai proses pembentukan konsep atau pengertian hakekatnya merupakan proses yang kompleks, karena dalam prosesnya melibatkan berbagai aspek kemampuan. Terutama kemampuan bahasa, persepsi, perhatian, dan ingatan. Kemampuan bahasa mencakup kosa kata, bahasa reseptif, maupun bahasa ekspresif. Kemampuan persepsi adalah kemampuan dalam membedakan bentuk, pengelompokkan, maupun pemahaman tentang urutan obyek. Konsenterasi berarti kemampuannya dalam memusatka perhatian terhadap obyek dengan rentang waktu yang cukup lama dan tidak mudah teralihkan. Sedangkan ingatan mancakup ingatan jangka panjang dan ingatan jangka pendek.

B. Hambatan Perkembangan Kognitif
            Perkembangan kognitif sering terjadi sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya, baik lingkungan social maupun lingkunan alam. Untuk itu dalam rangka memperoleh konsep atau pengertian, melalui inderanya individu senantiasa berhubungan dengan lingkungannya. Sekalipun masing-masing indera mempunyai sifat dan karakteristik yang khas, namun dalam bekerjanya memerlukan kerjasama dan keterpaduan diantara indera-indera tersebut. Sehingga memperoleh pengertian atau makna yang lengkap dan utuh tentang objek dilingkungannya. Diperlukan kerjasama secara terpadu dan serentak antara indera penglihatan, pendengaran, pengecap, perabaan, dan pembau atau penciuman untuk mendapatkan pengenalan, pengertian, atau makna yang lengkap dan utuh tentang lingkungannya. Atas dasar ini, adanya hambatan-hambatan dalam penginderaan sebagaimana yang terjadi pada anak-anak berkelainan, diperkirakan berdampak kepada perkembangan kognitifnya. Bagaimana hambatan-hambatan pada anak-anak tersebut, khususnya pada usia dini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.   Pada Anak Tunanetra
        Indera penglihatan ialah salah satu indera penting dalam menerima informasi yang datang dari luar dirinya. Tahapan perkembangan perilaku kognitif secara kuantitatif menurut Piaget akan tampak sekali bagaimana besarnya peranan dan fungsi indera penglihatan sebagai mobilitas dalam melakukan pengamatan-pengamatan terhadap objek yang ada disekitarnya. Karenanya tidak mudah untuk menjelaskan secara utuh bagaimana perkembangan kognitif anak tunanetra yang sebenarnya. Hal ini karena anak tunanetra tidak memiliki kemampuan visual sebagai salah satu factor penting dalam perkembangan kognitif yang jelas dibandingkan dengan anak pada umumnya, maka ketunanetraan akan berakibat pada perkembangan kognitif.
        Pada tahapan sensori-motori, hambatan visual yang dialami anak tunanetra secara langsung akan menghambat kemampuannya dalam pengamatan dan penginderaan yang intensif terhadap dunia sekitarnya, sehingga akan menghambat proses pembentukan konsep tentang objek, control skema, dan pengenalan hubungan sebab.
Pada  tahap pra-oprasional, sekalipun kemampuan bahasanya dapat berkembang dengan baik, namun ketiadaan pengalaman visual akan menjadikan anak tunanetra menghadapi kesulitan dalam cara berpikir yang bersifat transduktif sehingga hasil dari kemampuannya dalam mengklasifikasi. Anak dapat mengklaasifikasi atas dasar cirri-ciri yang menonjol berdasarkan cirri dari proses pendengaran,perabaan, penciuman, atau pengecapan,walaupun semua itu tergantung pada ada tidaknya suara, terjangkau tidaknya oleh tangan, ada tidaknya bau serta rasa. Namun, klasifikasi yang terhubung dengan bentuk, keluasan atau kedalaman, atau warna cenderung sulit atau bahkan tidak dapat dilakukan. Akibatnya, pembentukan konsepnya menjadi tidak utuh.
        Ketunanetraan secara signifikan juga telah banyak berpengaruh dalam proses kognitif seperti dalam presepsi ruang, synthesi, ketajaman sensori, daya ingat, kreativitas, intelegensi,  prestasi akademik , kemampuan bicara, dan kemampuan membaca.
     Ditinjau secara kualitatif, perkembangan fungsi-fungsi kognitif anak tunanetra sulit diidentifikasi. Kesulitan ini terutama disebabkan banyaknya alat-alat intelegensi yang tidak dapat digunakan secara utuh oleh anak tunanetra. Namun demikian, secara umum anak tuananetra pada umumnya cenderung memiliki daya ingat yang tinggi tetapi rendah dalam pengembangan konsep. Pengalaman-pengalaman dalam kehidupannya juga cenderung tidak tersusun secara terintegrasi, cenderung terpisah-pisah. Pada akhirnya,   bagaimana perkembangan kognitif anak tunanetra sangat tergantung pada bagaimana jenis ketunanetraan anak, kapan terjadinya, dan bagaimana stimuli lingkunganterhadap upaya pengembangan kognitifnya. 

2. Pada Anak Tunarungu
        Pada umunya intelegensi anak tunarungu secara potensial sama dengan anak normal, tetapi secara fungsional perkembangannya dipengaruhi oleh  tingkat kemampuan berbahasanya, keterbatasan informasi, dan daya abstraksi anak. Akibat ketunarunguannya menghambat proses pencapaian pengetahuan yang luas. Perkembangan kognitif dipengaruhi oleh perkembangan bahasa, sebab bahasa adalah alat berpikir dan sarana utama untuk komunikasi. Untuk menyampaikan ide, gagasan, pendapat, konsep, pendapat atau perasaannya, serta memahami makna yang terjadi di lingkungannya. Dengan demikian hambatan bahasa pada anak tunarungu dapat berkonsentrasi terhadap perkembangan kognitifnya.
        Kerendahan tingkat intelegensi pada anak tunarungu bukan berasal dari hambatan intelektualnya yang rendah melainkan secara umum karena intelegensinya tidak mendapat kesempatan untuk berkembang. Pemberian bimbingan yang teratur trutama kecakapan berbahasa akan dapat membantu perkembangan intelegensinya. Tidak semua aspek intelegensi anak tunarungu terhambat. Aspek intelegensi yang menghambat perkembangannya adalah yang bersifat verbal, misalnya merumuskan pengertian menghubungkan, menarik kesimpulan dan meramalkan kejadian.
        Aspek intelegensi yang bersumber dari penglihatan yang berupa motorik tidak banyak mengalami hambatan tetapi justru berkembang lebih cepat. Cruickshank  mengemukakan bahwa anak-anak tunarungu sering memperlihatkan keterlambatan dalam belajar dan kadang-kadang tampak terbelakang. Keadaan ini tidak hanya  disebabkan karena derajat gangguan pendengaran yang dialami anak tetapi juga tergantung pada potensi kecerdasan yang di miliki, rangsanga mental, serta dorongan, dari lingkungan dari luar yang memberikan kesempatan bagi anak  untuk mengembangkan kecerdasan itu.

3. Pada Anak Tunagrahita
        Para ahli psikologi perkembangan umumnya  beranggapan bahwa jiwa anak tunaagrahita dibandingkan dengan anak normal  yang mempunyai MA yang sama secara teoritis akan memiliki tahap perkembangan kognitif yang sama. Pendapat ini didasarkan pada sebuah asumsi bahwa individu secara aktif mengkonstruksikan struktur internalnya melalui interaksi dengan lingkungannya. Namun, pendapat ini tidak seluruhnya benar sebab dan beberapa penelitian yang membuktikan bahwa anak tunagrahita memiliki MA yang sama dengan anak normal tidak memiliki ketrerampilan kognitif yang unggul dari pada anak normal. Anak normal memiliki kaidah dan strategi dalam memecahkan masalah, sedangkan anak tunagrahita bersifat trial and error.
        Woodward berdasarkan hasil penenlitiannya menemukan bahwa kemampuan kognitif anak tunagrahita pada sensori motor tidak berbeda dengan anak-anak normal pada umumnya sementara itu menurut Wilton dan Boersma berdasarkan hasil penemuannya menyimpulkan bahwa : <1> anak-anak terbelakang berat tidak mampu memahami konservasi, bahkan tidak mampu mencapai tahap operasi kongkret, <2> anak-anak yang terbelakang ringan mampu melakukan tugas-tugas konservasi yang lebih sederhana sebaik pada anak normal dengan MA yang sama, dan <3> anak-anak terbelakan mental ringan tidak mampu dalam konservasi volume, dan tidak akan pernah mencapai tahap oprasional formal.
        Secara umum, perkembangan kognitif yang terjadi pada anak tunagrahita hakekatnya sama seperti yang terjadi pada anak normal. Namun, untuk tahap berpikir yang sifatnya abstrak menjadi wilayah sulit yang dicapai. Hal ini tidak lepas dari kenyataan bahwa terjadinya keterbelakangan mental dapat berdampak kepada terjadinya hambatan dalam satu atau beberapa proses kognitif seperti bahasa, presepsi, konsentrasi, memory, pemunculan ide-ide, evaluasi dan penalaran.
Dalam kaitan dengan bahasa, keterbelakangan mental menjadi perkembangan bahasanya terlambat. Penguasaan kosa katanya menjadi sangat terbatas, artikulasinya tidak jelas, intonasinya datar, secara gramatikal sering terjadi kesalahan. Kesulitan dalam memahami kata-kata, atau bahasa yang di sampaikan oleh orang lain. Dalam hal presepsi, sering kesulitan dalam hal menafsirkan apa yang dilihat. Dalam hal konsentrasi, anak tidak mampu mencurahkan energinya pada suatu objek yang dihadirkan atau dipelajari dalam waktu yang relative lama tanpa teralihkan kepada objek lain.
Berkenaan dengan memori, anak tunagrahita berbeda dengan anak normal  pada short term memory. Anak tunagrahita tampaknya tidak berbeda dengan anak normal dalam long term memory, daya ingatnya sama dengan anak normal. Akan tetapi bukti-bukti menunjukan anak tunagrahita berbeda dengan anak normal dalam hal mengingat yang segera. Beberapa penjelasan tentang kekurangan anak tunagrahita pada ingatan jangka pendek dipahami dengan pendekatan konsep neuro-biologis. Dalam teori kejenuhan cortical terhadap anak tunagrahita terdapat sebuah hipotesis bahwa sel cortical anak tunagrahita terhambat dalam perubahan kimia, listrik dan perubahan fisik. Perubahan-perubahan temporer yang terjadi pada sel cortical lebih sulit.
Sementara itu, fleksibilitas mental yang kurang  pada anak tunagrahita mengakibatkan kesulitan pengorganisasian  bahan yang akan di pelejari. Dampaknya, disamping sukar bagi anak tunagrahita untuk menangkap informasi yang kompleks, juga pengetahuan dan ide-idenya menjadi terbatas, tidak memiliki cukup bahan untuk melakukan penilaian terhadap situasi lingkungan dan memahaminya secara benar sesuai hokum logika.      

4. Anak Tunadaksa
        Proses adaptasi individu menurut Piaget terdiri dari proses akomodasi dan asimilasi, supaya proses – proses tersebut dapat berlangsung sebagaimana mestinya maka diperlukan suatu lingkungan yang memberikan dukungan dan juga memberikan dorongan, dan individu yang memiliki anggota tubuh lengkap dalam arti fisik dan biologik.
        Menurut Piaget, makin besar hambatan yang dialami anak dalam berasimilasi dan berkomunikasi dengan lingkungannya, makin besar pula hambatan yang dialami anak pada perkembangan kognitifnya, dengan demikian akan menghambat anak itu melaksanakan asimilasim dengan sempurna.
        Keadaan tunadaksa menyebabkan gangguan dan hambatan dalam keterampilan motorik, sehingga akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan keterampilan motorik yang lebih kompleks pada tahap berikutnya. Keterbatasan ini sangat membatasi ruang gerak kehidupan anak tersebut. Hambatan terhadap kegiatan eksplorasi lingkungan menimbulkan hambatan terhadap masukan sensorik khususnya pada masa formatif. Hal ini mengurangi stimulus yang diterima anak baik dalam arti jumlah maupun jenisnya. Adanya deprivasi sensoris dan pengalaman pada anak tunadaksa jelas akan meberi dampak terhadap perkembangan kognitifnya. 

5. Anak tunalaras
        Anak tunalaras memiliki kecerdasan yang tidak berbeda dengan anak normal pada umumnya. Karena itu, hambatan perkembangan kognitif yang mungkin terjadi pada anak tunalaras lebih banyak disebabkan oleh faktor – faktor kematangan emosi dan sosialnya. Secara umum gangguan tingkah laku pada anak banyak terkait dengan kemampuan dalam pesmusatan perhatian, oversensitive, kondisi emosi labil, kesulitan dalam memahami aturan – aturan sosial, serta dalam pengendalian diri atau terhadap aktivitas motoriknya, yang semuanya dapat berpengaruh terhadap perkembangan kognitifnya. Karena itu, hambatan perkembangan kognitif yang terjadi pada anak tunalaras kemungkinan besar terkait dengan masalah – masalah tersebut. 

6. Anak Berkesulitan Belajar
        Dilihat dari perkembangan kognitif, terdapat perbedaan nyata antara anak berkesulitan belajar (LD) dengan anak normalpada umumnya. Perbedaan tersebut terletak pada penguasaan perbendaharaan kata, kecepatan mereaksi, dan fleksibilitas berpikir. Anak LD cenderung mengalami kesulitan dalam memahami variasi arti kata (semantik), nuansa dari kata – kata, sindiran, dan yang mengandung kiasan. Anak LD juga cenderung mengalami ketidakluwesan dalam berpikir. Sebagai contoh anak dapat memahami konsep penjumlahan atau pengurangan, atau perkalian dan pembagian, tetapi menjadi tidak dimengerti ketika anak dihadapkan pada soal – soal pecahan atau bilangan decimal. Dengan kata lain anak LD kurang mampu memecahkan persoalan melalui pendekatan jamak.
        Secara kognitif anak LD juga mengalami kesulitan untuk mengingat informasi dengan segera setelah informasi itu disajikan (gangguan pada ingatan jangka pendek), dan konsentrasi (perhatian selektif). Smith (1978, dalam Schwartz, 1984) telah mengelaborasi tipe khusus berpikir anak LD, yaitu :
a) Tidak mampu melihat hubungan sebab akibat. Khususnya penggunaan kata –  kata “karena”. Tidak mampu berpikir antisipatif dan melakukan penilaian.
b)  Berpikir kaku. Suatu kata hanya dipahami satu makna. Misal, mengetahui
5 + 7 = 12 tetapi tidak dapat menjawab soal 12 = 7 + x
c)  Mengalami kesulitan melihat persamaan dan perbedaan, serta pemahaman  hubungan.
d) Tidak dapat melihat pola- pola. Tidak mampu mengelompokkan pola – pola yang sama untuk membentuk suatu pola pikir baru
e)  Miskin ingatan. Tidak mampu mengingat nama – nama atau tempat, juga wajah.
f)  Tidak mampu mengorganisasikan fakta dan konsep yang sduah mereka miliki dan akibatnya tidak mampu menggunakannya untuk pemecahan.
g)  Tidak mampu melakukan kategorisasi atau klasifikasi. Masing – masing pengalaman terpisah satu dengan yang lain, tidak mampu membuat kesimpulan. Tidak mampu membuat generalisasi dari konkret ke abstrak.
h)  Tidak mampu melakukan transfer belajar dari pelajaran yang satu ke yang lain.
i)  Pemahaman konsep terlalu sempit atau luas. Semua binatang berkaki empat adalah anjing. Kucing hanyalah berwarna hitas atau putih (seperti yang pernah dilihatnya sendiri sebagai kucing) atau semua kucing dipanggilnya dengan siulan, seperti panggilan kucingnya sendiri. 

7. Anak Autis
        Anak autis cenderung kesulitan dalam mengontrol masukan sensori dan konsekuensinya dapat menunjukkan hiperresponsif atau sebaliknya yaitu hiporesponsif terhadap stimuli. Mereka juga menunjukkan tidak acuh terhadap stimuli pendengaran maupun penglihatan, namun dapat bertahan ketika bermain benda – benda yang dapat diputar atau dibongkar pasang. Mereka juga cenderung menunjukkan kesulitan dalam bahasa, baik ekspresif maupun reseptif, dalam pemusatan perhatian, pengenalan urutan, maupun dalam merencanakan dan mengorganisasikan informasi hasil belajar. Akibatnya, anak cenderung mengalami kesulitan dalam memahami instruksi yang lebih kompleks. Misal, untuk mengerjakan sesuatu yang terdiri dari beberapa langkah atau gerakan.
        Hambatan perkembangan kognitif anak autis juga ditunjukkan dengan adanya pemilikan cara berpikir yang berbeda dibandingkan dengan anak pada umunya. Tidak dapat mengikuti jalan pikiran orang lain, sulit memahami peristiwa yang tejadi dilingkungannya, sukar mengekspresikan ide dan perasaan – perasaannya, sertan dalam memahami reaksi orang lain atas perbuatannya,
        Ornitz dan Rivto (Fallen dan Umansky ; 1985) menemukan bahwa anak autis dapat mengerjakan tugas – tugas dengan baik yang memerlukan manipulasi keterampilan tangan. Namun keterbatasannya dalam kognitif menjadikan anak autis cenderung berperilaku stereotip dalam menghadapi lingkungannya.

C. Asesmen
            Sekalipun masalah kognitif merupakan aspek yang kompleks dan terkait dengan berbagai aspek perkembangan yang lainnya, namun untuk memperoleh data yang komprehensif tentang perkembangan kognitif anak tidaklah terlalu sulit. Sesuai dengan ruang lingkup perkembangan kognitif yang terjadi pada masa kanak – kanak atau sampai pada tahap pra-operasional, maka dalam kaitan dengan intervensi dini, ruang lingkup asesmen hendaknya mencakup beberapa area, meliputi :
1. Keterampilan kognitif dasar
            Sampai dengan tahap pra-operasional, perkembangan kognitif dasar anak sebenarnya belum sepenuhnya baik. Namun dalam batas – batas yang sederhana anak sudah mampu memahaminya. Keterampilan kognitif dasar adalah kemampuan anak dalam memahami klasifikasi, seriasi, korespondensi, dan konservasi.
a. Klasifikasi
          Yaitu kemampuan dalam mengelompokkan obyek berdasarkan atribut dari obyek tersebut. Meliputi kemampuan dalam mengelompokkan benda berdasar atas warna, bentuk, atau ukurannya, yang dilakukan secara bertahap muali dari jumlah yang sedikit dan berdasar kepada satu atribut ke jumlah yang. Lebih banyak dan lebih dari satu atribut. Misal, tahap pertama dimulai dengan mengelompokkan kepingan puzzle yang berdasar atas warnanya saja, kemudian ditingkatkan menjadi berdasar atas warna dan bentuknya.
 
b. Seriasi
Yaitu kemampuan dalam mengurutkan susuanan suatu obyek berdasarkan atribut dari obyek tersebut. Misalnya menyusun urutan obyek berdasar atas ukuran panjang-pendek, besar-kecil, tinggi-rendah, berat-ringan, atau berdasar atas pola-pola urutan tertentu, misal berdasar atas warnanya.

c. Korespondensi
Yaitu kemampuan dalam memahami jumlah dari dua kelompok obyek dalam karakteristik yang berbeda. Misalnya kelompok pensil dan pulpen, balok dan kubus, jeruk dan apel, dan sejenisnya, dalam jumlah yang sama.

d. Konservasi
Yaitu kemampuan anak dalam memahami hukum kekekalan suatu obyek sekalipun terjadi perubahan posisi atau tempat atas obyek tersebut. Misalnya, kekekalan jumlah (terhadap obyek/benda yang dipisah dan disatukan), kekekalan berat (misal terhadap bentuk bulat dan pipih), dan kekekalan isi atau volume (misal terhadap air di gelas dan di piring).

2. Kemampuan Bahasa
Fungsi berbahasa merupakan proses paling kompleks di antara seluruh fase perkembangan. Fungsi berbahasa juga merupakan indikator paling baik dari ada tidaknya gangguan perkembangan kognitif. Perkembangan bahasa memerlukan fungsi reseptif dan ekspresif. Fungsi reseptif adalah kemampuan anak untuk mengenal dan bereaksi terhadap seseorang, terhadap kejadian lingkungan sekitarnya, mengerti maksud mimik, nada suara dan akhirnya mengerti kata-kata. Fungsi ekspresif adalah kemampuan anak mengutarakan pikirannya, dimulai dari komunikasi preverbal (sebelum anak dapat berbicara), komunikasi dengan wajah ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan akhirnya terhaap penguasaan kosa kata serat dalam penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari secra verbal.

3. Kemampuan Perhatian
Yaitu terhadap kemampuan anak dalam memusatkan energi terhadap suatu obyekdalam rentang waktu yang lama tanpa mudah teralihkan.

4. Kemampuan persepsi
Yaitu terhadap kemampuan atau daya mengenal benda, kualitas, atau perbedaan dua hal/lebih yang hadir dalam sifatnya yang konkret jasmaniah melalui proses mengamati, mengetahui dan mengartikan setelah panca indera mendpat rangsang. Daya mengenal benda, misalnya cangkir, buku, sepeda, dan pulpen. Daya mengenal kualitas, misalnya cantik, miskin, pemarah dan jauh. Daya mengenal perbedaan, misalnya terhadap suatu benda yang lebih pendek, lebih kecil, atau lebih jauh.

5. Kemampuan Ingatan
Termasuk kemampuan ingatan adalah kemampuan untuk mengenal kembali (recognition : obyeknya hadir) dan mengingat kembali (recall :obyeknya tidak hadir), serta kemampuan ingatan jangka pendek (Short Term Memory) dan ingatan jangka panjang (Long Term Memory).
        Disamping hal-hal diatas, penting pula untuk menggali data atau informasi yangberhubungan dengan lingkungan anak, terutama terhadap permasalahan dan harapan-harapan orang tua. Selanjutnya keseluruhan data perlu dianalisis secara kritis untuk menemukan kesenjangan dan kebutuhan-kebutuhan anak unutk dijadikan sebagai landasan dalam penyusunan program intervensinya. 

D. Program Intervensi
        Walaupun teori perkembangan kognitif yang diajukan Piaget tidak secara khusus membicarakan implikasinya terhadap nak berkelainan, namun beberapa faktor yang telah diidentifikasikan dapat membantu secara lebih jauh dalam memahami hambatan yang terjadi pada anak berkelainan dan upaya yang berkaitan dengan intervensi.
        Sebagaimana diketahui bahwa sampai dengan tahap praoperasional, anak belum memiliki keterampilan kognitif dasar dengan baik, baik dalam klasifikasi, seriasi, korespondensi, maupun konservasi. Hal ini tidak lepas dari masih adanya beberapa kendala yang dihadapinya, yang meliputi : (1) kendala egosentrisme (egocentrisme block), yaitu ketidakmampuan untuk melihat titik pandang yang lain. Misal, anak percaya benda yang memilki ciri sama dianggap sama. Benar hanaya menurut dirinya. Akibatnya, perkembangan emphatinya menjadi terhamabt, karena orang lain dianggap sama dengan dirinya, (2) kendala pemusatan (centration block), yaitu ketidakmampuan untuk fokus pada lebih dari satu masalah. Misal deretan 3 koin bisa dipandang lebih banyak dari pada deretan yang terdiri dari 5 koin, tetapi kecil-kecil. Akibatnya, pemecahan masalah berdasar atas logika menjadi lebih sulit, sehingga perlu penjelasan lebih, (3) kendala reversibilitas (reversibility block), yaitu ketidakmampuan untuk bekerja dari depan ke belakang atau dari belakang ke depan. Misal anak bisa memahami persoalan 3+2=... tetapi menjadi kesulitan ketika diubah menjadi 3+...=5. Akibatnya, anak sering kehilangan jejak bila sesuatu itu diubah, sehingga perlu pengajaran yang lebih baik, dan (4) kendala transformasi (transformation block), yaitu ketidakmampuan anak unutk menempatkan suatu peristiwa dalam urutan atau susunan yang sebenarnya. Sulit memahami sebab dan akibat, sehingga mengalami hambatan dalam memprediksi akibat dari perilakunya pada diri sendiri atau pada orang lain.
        Adanya hambatan-hambatan diatas, mengisyaratkan bahwa dalam program intervensi dini mengharuskan kemampuan guru atau therapis untuk melakukan upaya-upaya yang mampu meneliminir, mereduksi, atau meminimalisir kendal-kendala tersebut. Dalam konteks ini, penggunaan media yang sederhana, konkret, dan ada disekitar anak dalam kehidupan sehari-hari, disertai penjelasan-penjelasan yang lebih melalui bahasa yang sederhana sesuai bahasa anak, serta dilaksanakan secara telaten, kreatif, terstruktur, terpola, konsisten, konsekuen, dan menyeluruh dengan fokus kepada permasalahan mendasar (hamabatan belajar) yang dihadapi anak menjadi amat penting.
        Ana dengan hambatan perkembangan kognitif merupakan individu yang mengalami hambatan perkembangan yang kompleks, dikarenakan banayak kemungkinan terkait dengan aspek fungsi bahas, persepsi, perhatian, dan ingatan. Oleh karena itu penanganan secara terpadu merupakan sesuatu yang sangat membantu dalam mengatasi berbagai persoalan yang dialami oleh anak dengan hambatan perkembanagan kognitif.

1.         Prinsip
Dalam memfasilitasi perkembangaan kognitif, Fallen dan Umansky (1985) menjelaskan bahwa anak dilahirkan untuk belajar dan sifat dasar dalam belajar adalah dengan mengambil keuntungan dari kesempatan yang datang dari lingkungannya. Untuk memperoleh informasi, bayi berusaha menyelidiki stimulus yang datang dari lngkungannya dengan tangan, kaki, dan mulut mereka, serta memperlambat gerak ketika mendengarkan suara baru. Bagi anak yang tunanetra dilakukan dengan memanfaatkan petunjuk visual, sedangkan bagi yang tunagrahita akan lebih mudah bila disertai penjelasan dan penyederhanaan.
Dalam konsep intervensi, apabila anak sibuk berarti anak sedang belajar. Untuk itu pemanfaatan media seperti kertas,krayon,puzzle  dan yang lainnya amat penting dalam merangsang agar anak sibuk dan belajar.Atas dasar ini,penciptaan lingkungan belajar yang ramh, kondusif,merangsang perkembangan kognitif anak,serta diikuti dengan pemberian pujian menjadi sangat penting.
Lebih lanjut dikemukakan tentang beberapa prinsip dalam memfasilitasi perkembangan kognitif anak, meliputi :
A.    Fokus kepada proses
Dalam membantu perkembangan kognitif anak, yang berarti membantu anak dalam proses pembentukan konsep atau pengertian, Intervensi  harus lebih menekankan kepada bagaimana anak belajar dan berkembang daripada apa yang dipelajari.Menekankan bagaimana anak melakukan pemrosesan  informasi dari aktivitas belajar yang disajikan daripada sekedar menyelesaikan jumlah pekerjaan yang dihadapinya.Dengan demikian anak diharapkan tidak mengalami  kesulitan dalam mengaplikasikan konsep dan ketrampilan yang diperoleh ke dalam situasi yang berbeda.

B.     Ketrampilan guru
Dalam membantu mempermudah perkembangan kognitif anak,guru harus memiliki beberapa ketrampilan khusus,namun aplikasinya dapat berbeda untuk setiap anak berkelainan. Beberapa ketrampilan tersebut, meliputi ketrampilan dalam :
1.      Menggunakan bahan dan aktivitas yang dapat mempertahankan minat dan perhatian anak
Dilakukan untuk memenangkan  persaingan dengan stimulus lain disekitar. Caranya  dengan memilih atau memodifikasi alat / media yang mampu meningkatkan stimulus anak. Misal, melalui suara yang lebih keras untuk meningkatkan perhatian pendengaran,gambar-gambar  yang warna yang mencolok/cerah untuk meningkatkan perhatian visual, tekstur yang beragam untuk meningkatkan perhatian perabaan,kinestetik,melalui berbagai aktivitas yang bervariasi agar tidak cepat bosan atau melalui bermain sehingga lebih menyenangkan.

2.      Memilik aktivitas dengan titik akhir intrinsic.
Yaitu dengan membuat situasi yang memungkinkan anak tertantang dengan membuat situasi yang memungkinakn anak tertantang untuk melakukan aktivitas atau menyelesaikan sendiri secara aktif tanpa tergantung kepada control dari lingkungan

3.      Menggunakan bahasa sebagai alat kognitif
Untuk menghubungkan informasi dan mendapatkan konsep,anak harus dikenalkan label terhadap obyek-obyek yang dipelajarinya,terutama mengenai nama, persamaan,perbedaan,dan hubungannya sebagai bahan untuk melakukan sintesa dan pemacahan masalah.

4.      Bertanya kepada anak dengan pertanyaan-pertanyaan yang menantang dan memuaskan.
Yaitu kemampuan untuk menggunakan pertanyaan yang mencerminkan ungkapan penghargaan terhadap apa yang telah dilakukan dan menayakannya lebih lanjut kemengapaannya atau tindakan selanjutnya.Misal,” Bagus Andi,mengapa bentuk bulat bias masuk ke lingkaran itu ?” atau “Bapak senang,kamu sudah bias.Sekarang kalau yang ini bagaimana ?”

5. Memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan penemuan dan dalam memilih tugas-tugas belajar.
Penemuan merupakan halpenting dalam perkembangan kognitif.Melalui eksplorasi,anak akan lebih banyak menyerap informasi tentang lingkungannya.Karena itu penting bagi guru untuk memberikan kesempatan kepada anak untuk melakukan penemuan-penemuan melalui eksplorasi terhadap lingkungannya, serta memilih tugas-tugas yang sama di lain waktu secara mandiri.

6.      Mengidentifikasi dan menggunakan saluran primer sesuai masing-masing anak
Masing-masing anak memiliki pebedaan dalam gaya belajar atau dalam menerima dam memproses informasi.Beberapa anak lebih efektif dengan masukan auditori sementara yang lain dengan visual dan takstil.Tugas guru adalah fleksibel dalam memilih pendekatan belajar yang sesuai dengan gaya belajar anak.

Disamping prinsip-proinsip diatas secara umum prinsip lainnya adalah:
a.      Intervensi hendaknya sampai pada taraf memahami bukan berhenti pada tahap menghafal.
b.     Dilakukan dengan menggunakan media yang sederhana tetapi menarik dan aman bagi anak.
c.   Materi pembelajaran disusun mulai dari yang mudah dan sederhana  menuju ke yang sukar dan lebih kompleks.
d.    Memperhatikan perbedaan individual, terutama terhadap taraf perkembangan dan hambatan-hambatan yang menyertainya.
e.  Dilakukan dalam situasi yang menyenangkan dan memungkinkan anak untuk aktif terlibat secara langsung, misalnya sambil bermain atau dalam bentuk permainan.
f.      Menghargai setiap keberhasilan atau kemajuan belajar anak.
2. Lingkup Intervensi  dan Bentuk Latihan
a. Pengembangan kemampuan kognitif dasar
Dapat dilakukan melalui :
1).  Pengenalan secara intensif terhadap obyek atau benda-benda yang ada dilingkunagn anak sehari-hari
2).   Menunjukan hubungan antara dua hal
3).  Latihan-latihan klasifikasi,seriasi,korespondensi dan konservasi secara beragam disertai dengan penjelasan-penjelasan yang lebih.Misal,untuk latihan klasifikasi dapat dilakukan berdasar atas bentuk,warna,ukuran,rasa,raba,bau,suara dan yang lainnya
b. Pengembangan persepsi
Sebagaian anak yang mengalami hambatan perkembangan kognitif,mengalami hambatan dalam persepsi dan dapat berbentuk hambatan yang bersifat persepsi visual,auditori,perabaan,ruang,ataupun tubuh.Untuk anak yang demikian, intervensi dapat dilakukan melalui latihan-latihan sebagai berikut :
a.       Latihan persepsi visual
a)         Pengenalan obyek dalam ruang
b)         Diskriminasi obyek  dari yang lainnya
c)         Menyatukan gambar,model,bentuk atau huruf yang sama
d)        Mengenal diskriminasi bentuk-bentuk geometri bidang datar
e)         Mengenal obyek tertentu
f)          Diskriminasi bentuk huruf atau benda yang hampir sama
g) Diskriminasi ukuran: tinggi-rendah, panjang-pendek, besar kecil, dalam-dangkal, kurus-gemuk

b.      Latihan persepsi auditori
a). Diskriminasi bunyi keras-lemah melalui gerakan (menghentakkan kaki-jinjit, bertepuk tangan, mengetuk, meniru suara hewan/mesin, dsb)
b).  Diskriminasi bunyi cepat-lambat, panjang-pendek, lembut-keras.
c).  Identifikasi banyak, sumber, dan arah bunyi
d).  Identifikasi bunyi sinyal (klakson, telepon)
e).  Latihan vocal/ konsonan/ konfigurasi
f).  Diskriminasi huruf yang hampir sama bunyinya (b dan g, m dan n, dsb)
g).  Latihan irama bunyi
h).  Latihan melaksanakan petunjuk/ instruksi
i).  Latihan menceritakan kembali

c.       Latihan persepsi perabaan
a)   Diskriminasi permukaan kasar-halus, keras-lembek
b)   Menelusuri bentuk geometri
c)   Menelusuri bentuk huruf atau gambar

d.      Latihan persepsi ruang
a)   Diskriminasi gerak tangan, besar-kecil
b)   Diskriminasi langkah kaki
c)   Menelusuri lorong
d)  Diskriminasi lubang
e)   Diskriminasi aktivitas ruang besar-kecil

e.       Latihan persepsi tubuh
a)   Diskriminasi letak anggota badan
b)   Diskriminasi kanan-kiri, atas-bawah
c)   Diskriminasi bentuk tubuh
d)  Diskriminasi besar-kecil, panjang-pendek
e)   Diskriminasi gerak tubuh
f)    Diskriminasi maju-mundur

c.       Pengembangan perhatian dan konsentrasi
Perhatian dan konsentrasi merupakan dua hal saling berkaitan. Perhatian menunjuk pada kualitas sedang konsentrasi kepada kuantitas. Dalam intervensi kepada anak yang mengalami gangguan perhatian dan konsentrasi, shingga menghambat perkembangan kognitifnya, latihan-latihan yang dapat diberikan seperti :
1)      Identifikasi benda, bentuk, atau gambar tertentu
2)      Mendengarkan cerita
3)      Tiduran dalam jangka waktu tertentu
4)      Latihan pengendalian gerak tubuh dengan mata terpejam
5)      Latihan relasi simbolik dengan gerak tertentu
6)      Latihan memasukkan benda dalam lubang, dari lubang besar ke kecil
7)      Latihan membawa benda
8)      Latihan papan keseimbangan
9)      Latihan relaksasi, dsb.
Anak dengan gangguan perhatian umumnya sensitif terhadap stimulus yang tidak relevan yang dating dari lingkungan. Untuk mengurangi atau membaasi stimulus dari lingkunga dapat dilakukan dengan cara :
1)      Pilih tempat yang cukup sunyi
2)      Dinding tidak banyak gambar/hiasan
3)      Lantai dipasang karpet
4)      Jendela tertutup
5)      Gunakan almari atau rak yang tertutup
6)      Gunakan ruangan-ruangan yang kecil
7)      Bila mungkin, gunakan ruangan kedap suara.
Pembatasan stimulus di atas hendaknya hanya dilakukan pada tahap awal, untuk tahap selanjutnya penangana hendaknya dilakukan dalam ruang-ruang biasa seperti yang dipakai anak-anak lainnya.
 
d.      Pengembangan bahasa, misalnya melalui latihan :
1)      Pengembangan kosa kata.
2)      Pengembangan struktur kalimat.
3)      Pengembangan memahami petunjuk.
4)      Pengembangan kemampuan mengemukakan pendapat, idea tau gagasan secara lisan.
5)      Pengembangan kemampuan untuk menilai sesuatu.
6)      Pengembangan keterampilan menyimak.
Untuk mengembangkan hal-hal di atas dapat dilakukan dengan mengjak anak untuk mendengarkan cerita, mendengarkan musik, bernyanyi, bermain bersama, atau jalan-jalan ke taman, sawah, kebun binatang, hutan, ataupun mall.
 
e.       Pengembangan ingatan, misalnya melalui :
1)      Penggunaan media yang sesuai dan menarik minat anak
2)      Penyampaian bahan atau materi sedikit demi sedikit
3)      Mengulang bahan belajar
4)      Menghubungkan bahan yang dipelajari dengan bahan lainnya yang sejenis (system mnemonic)
5)      Pemanfaatan secara maksimal seluruh saluran indera secara serentak (multi sensori stimultant approach)
6)      Teknik pengelompokan (chunking), seperti kta dalam menghafal nomor telepon. Missal, 27884 (tujuh chunk) menjadi 2788-454 (2 chunk)
7)      Teknik penggunaan kata kunci, seperti pada penggunaan singkatan.

3.      Pengembangan program
Dalam mengembangkan program intervensi pada anak dengan hambatan perkembangan kognitif melalui kegiatan pembelajaran, paling tidak terdapat lima hal penting yang harus diperhatikan, yaitu :
a)      Terstruktur
Program pembelajaran terstruktur menekankan pada pendekatan teacher-oriented dengan menstrukturkan berbagai bahan belajar., aktivitas, dan lingkungan sehingga lebih terarah dan sistematis. Bahan belajar yang terstruktur berarti bahan belajar disusun mulai dari yang paling mudah dan dapat dilakukan anak dan kemudian secara bertahap meningkat ke atasnya, namun merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dari bahan belajar sebelumnya. Misalnya, untuk mengajarkan agar anak memahami instruksi “tutup pintu”, anak harus dikenalkan terlebih dahulu dengan konsep “tutup” dan  “pintu”, setelah menguasai arti kata tersebut, baru anak diminta untuk mengaktualisasikannya ke dalam perbuatan nyata.
b)      Terpola
Artinya bahwa kegiatan pembelajaran hendaknya dikondisikan dalam pola yang teratur atau terjadwal, sehingga menjadi bagian dari rutinitas kegiatan anak. Namun harus fleksibel sesuai dengan situasi dan kondisi, sehingga tidak kaku dan anak dapat belajar menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan.
c)      Terprogram
Artinya tersusun dan terencana dengan baik, meliputi tujuan yang ingin dicapai, bahan belajar, aktivitas pembelajaran yang akan dilakukan, media, waktu, serta evaluasinya.
d)     Konsisten
Artinya ada ketetapan dalam cara-cara memperlakukan anak. Konsistensi ini hendaknya mencakup sikap terhadap anak, pemberian penghargaan dan hukuman, waktu, tempat, serta dalam perlakuan terhadap anak antara guru/terapis dengan orang tua.
e)      Berkesinambungan
Artinya ada kontinuitas atau kesinambungan, tidak terpenggal-penggal.
penggal atau terhenti untuk waktu yang lama kemudian baru dilanjutkan lagi. Kontinuitas juga berarti menuntut adanya tindak lanjut dari apa yang dilakukan oleh guru/therapis di klinik (misal) dengan oleh orang tua di rumah.
            Selanjutnya, pengembangan program intervensi hendaknya dituangkan dalam Program Pembelajaran Individual (PPI). Dengan PPI akan memastikan bahwa anak mendapat jaminan untuk memperoleh pelayanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan spesifiknya.

4. Metode dan teknik
            Terdapat beberapa metode yang dianggap cocok dalam intervensi pada anak dengan hambatan perkembangan kogniti, salah satu yang paling mudah adalah melalui penggunaan pemikiran Piaget tentang pembentukan kognitif dasar, yang implementasinya melalui latihan-latihan klasifikasi, seriasi, korespondensi maupun konservasi. Disamping itu terdapat pula metode lain yang dapat digunakan, antara lain
a.       Metode TEACCH
Metode TEACCH (Treatment and Education of Aitistic and Related Comunication Handicapped Children and Adults), selain efektif untuk meningkatkan kemampuan komunikasi pada anak autis, dan implementasinya juga dipercaya mampu untuk meningkatkan kognitif anak. Sebab, melalui penggunaan simbol atau gambar-gambar akan lebih banyak memberikan kemudahan bagi anak dalam memaknai peristiwa yang terjadi di lingkungannya.

b.      Metode Multisensori
Metode multisensori atau VAKT (visual, auditory, kinesthetic, and tactile) adalah suatu cara yang teratur yang digunakan untuk membantu anak dalam mencapai tingkat kemampuan yang optimal, dengan lebih memfokuskan pada pemfungsian semua indra/sensori (seperti : penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman dan pengecapan)dari anak secara simultan dan terpadu. Melalui metode ini hambatan perkembangan kognitif yang terjadi pada anak karena hambatan dalam indra tertentu diharapkan bisa dikompensasikan oleh indra lainnya yang masih berfungsi dengan lebih baik, sehingga proses pembentukkan konsep dapat dilakukan dengan lebih utuh.
c.       Metode Sensori Integrasi Therapi
Yaitu terapi yang menggunakan aktivitas fisik untuk meningkatkan kemampuan otak mengatur penerimaan rangsang dan mengatur respons terhadap rangsang tersebut secara tepat. Penekanan terapi ini adalah pada sensomotorik dan proses neurologi dengan cara memanipulasi, memfasilitasi dan menata lingkungan, sehingga secara bertahap dapat tercapai peningkatan, perbaikan dan pemeliharaan kemampuan kognitif anak. Dalam implementasinya, pelaksanaan terapi ini perlu disukung dengan sarana/peralatan/media terapi yang memadai.
d.      Teknik Pengalaman Langsung
Yaitu melalui penciptaan situasi dan kondisi yang memungkinkan anak belajar dengan mengalami secara langsung dan nyata. Dalam implementasinya dapat dilakukan melalui eksperimen sederhana, problem solving, pembelajaran, simulasi, atau bermain peran (role playing)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar