A.
Perkembangan
Kognitif
Yang dimaksud dengan
perkembangan kognitif adalah perkembangan anak dalam proses pembentukan konsep
dan pengertian. Suppes (1974) menjelaskan bahwa kognisi merupakan bidang yang
luas yang meliputi semua keterampilan akademik yang berhubungan dengan wilayah
persepsi. Messen, Conger, dan Kagan (1974) menjelaskan bahwa kognisi paling
sedikit terdiri dari lima proses, yaitu : (1) persepsi, (2) memori, (3)
pemunculan ide-ide, (4) evaluasi, (5) penalaran. Proses-proses itu meliputi
sejumlah unit yaitu skema, gambaran, symbol, konsep, dan kaidah-kaidah. Kognisi
juga terkait dengan proses dimana pengetahuan itu diperoleh, disimpan, dan
dimanfaatkan. Irene Athey (1985) menyatakan bahwa perkembangan kognitif
seseorang akan berkembang sesuai dengan usia, mengikuti dimensi-dimensi mulai
dari hal yang sederhana menuju ke yang kompleks, dari sesuatu yang subyektif
menuju yang obyektif, dan dari yang dikenal menuju yang asing.
Dalam mengkaji
perkembangan kognitif, tokoh yang paling terkenal adalah Piaget. Pengaruh Piaget
terhadap pendidikan dan psikologi sangat dalam, terlebih-lebih pada masa dua
decade terakhir. Karenanya teori Piaget
tentang perkembangan kognitif anak berkelainan saat ini telah menjadi konsep
pendidikan yang tidak dapat diabaikan. Teori Piaget menetapkan kerangka kerja
fungsional untuk melakukan tinjauan terhadap perkembangan kognitifperseorangan
yang mempunyai hambatan dalam perkembangan mental, social, fisik, dan
intelegensi.
Piaget menegaskan
prinsip dasar dari perkembangan kognitif sesungguhnya serupa dengan apa yang
ada dalam perkembangan biologis. Adaptasi dan pengorganisasian lingkungan
merupakan proses yang tidak terpisahkan dan merupakan mekanisme tunggal dari
aspek internal yang melakukan adaptasi berdasarkan aspek eksternal. Lebih
lanjut ia menyatakan kegiatan intelektual tidak dapat dipisahkan dari
“keseluruhan” keberfumgsian kehidupan seseorang.
Keberfungsian
intelektual merupakan bentuk khusus dari kegiatan yang bersifat biologis dan
merupakan proses secara menyeluruh dimana kehidupan seseorang saat melakukan
adaptasi terhadap lingkungan berpegang pada seluruh hasil
pengalaman-pengalamannya. Selanjutnya, dalam menjelaskan perkembangan kognitif,
Piaget mengajukan adanya empat konsep utama, yaitu :
1. Skema
Skema
ialah struktur-struktur kognitif atau mental yang diperolehi oleh individu
untuk menghadapi situasi lingkungan. Skema tidak tunggal dan statis, tetapi banyak
terus berubah seiring dengan perkembangan intelektualdan bertambahnya
pengalaman. Skema menjadikan individu cenderung melakukan pengulangan, yaitu
sebagai suatu strategi kognitif dalam menghadapi situasi yang serupa, namun
bukan berarti mengabaikan pembentukan skema baru walaupun faktor-faktor
situasional tidak menuntut untuk melakukan hal tersebut.
2. Asimilasi
Asimilasi
ialah proses kognitif yang dilakukan oleh individu dengan mengintegrasikan atau
mengorganisasikan pangalaman baru kedalam struktur kognitif atau skema yang
sudah ada. Proses ini berlangsung sepanjang masa. Asimilasi analog dengan
memasukkan angin kedalam balon atau memasukkan catatan baru dalam file yang
sudah ada, sehingga balon menjadi besar atau file menjadi lebih lebih banyak
isinya, yang berarti terjadi perubahan kuantitatif. Dalam proses asimilasi
tidak dihasilkan skema baru, karena menggunakan skema yang sudah ada.
3. Akomodasi
Ketika
individu menghadapi mendapatkan pengalaman baru, maka ia akan mencoba
mengasimilasikan kedalam skema yang sudah ada. Namun apabila hal ini tidak
dapat dilakukan karena tidak ada kesesuaian, maka ada dua kemungkinan yang akan
dilakukan, yaitu : (1) memodifikasi skema yang sudah ada untuk menerima
pengalaman barutersebut, atau (2) membentuk skema baru. Kedua proses ini
disebut akomodasi. Melalui proses akomodasi ini maka terjadi perubahan
kualitatif atau perkembangan skema (development
of schema).
4. Keseimbangan
Dalam
berinteraksi dengan lingkungan atau kehidupan sehari-hari individu senantiasa
berupaya untuk mewujudkan keseimbangan, yaitu keseimbangan antara asimilasi dan
akomodasi melalui proses adaptasi. Ketidakseimbangan (disequilibrium) ialah keadaan tak seimbang antara asimilasi dan
akomodasi atau ketika salah satu kegiatan (asimilasi/akomodasi)berlangsung
berlebihan, manguasai yang satu atau yang lainnya.
Selanjutnya,
teori Piaget tentang perkembangan terdiri atas empat tahapan yang berbeda,
yaitu : (1) Tahap Sensori Motor (MA=0-1,5 atau 2 tahun); (2) Tahap Berfikir
Secara Pra-Oprasional (MA=2-7 tahun); (3) Tahap Operasi Konkret (MA=11 hingga
12 tahun lebih) (Wadsworth, 1984 : 35-171). Sedangkan kemampuan kognitif yang
muncul pada setiap tahapan sebagai berikut :
1. Pada
masa tahapan sensorimotor-intelegensi
gerak merupakan tindakan perilaku utama, perkembangan gerak dan perkembangan
kognitif secara konstan berinteraksi, artinya bahwa gerak selalu berhubungan
dengan proses berfikir dan muncul sebagai akibat perilaku yang terjadi melalui
gerak tubuh. Pengetahuan anak diperoleh melalui interaksi fisik, baik dengan
orang atau benda. Anak belum dapat berfikir secara konsep, perkembangan
kognitifnya terbentuk oleh adanya skemata,
skema-skema baru berbentuk refleks-refleks sederhana seperti menggenggam atau
menghisap.
2. Pada
tahapan pre-operasional, dicirikan
dengan adanya perkembangan berbahasa segera “ego-centric speech”disamping bentuk lain seperti : symbol-simbol
untuk merepresentasikan lingkungan secara kognitif sebagai gambaran dari
perkembangan konseptual secara cepat. Saat ini pemikiran merupakan prelogikal
dan semilogikal.
3. Pada
tahapan operasi konkret, anak mulai
mengembangkan kemampuan untuk menerapkan pemikiran secara logis kearah
permasalahan yang bersifat konkret. Pada tahapan ini, anak dapat membentuk operasi-operasi
mental atas pengetahuan yang mereka miliki. Mereka dapat menambah, mengurangi,
dan mengubah. Operasi ini memungkinkannya untuk dapat memecahkan masalah secara
logis.
4. Pada
tahapan operasi formal, bentuk
kognitif anak mencapai tingkat perkembangan cukup tinggi. Pada saat ini anak
mulai berkemampuan menerapkan alasan logis terhadap masalah. Periode ini
merupakan operasi mental tingkat tinggi. Disini anak dapat berhubungan dengan
peristiwa-hipotesis atau abstrak, tidak hanya dengan objek konkret.
Terkait dengan intervensi dini, maka
perkembangan kognitif yang terjadi pada anak berada pada tahap sensori motor
dan pra operasional. Karakteristik utama dari sensori motor adalah hubungan
timbale-balik yang sangat erat antara kegiatan fisik dan intelegensi. Pada
tahap ini perkembangan kognitif terjadi melalui penggunaan refleks-refleks yang
dibawa sejak lahir serta tindakan-tindakan indrawi. Karena itu pada masa ini
bayi sibuk untuk menemukan hubungan antara tindakan mereka dengan akibat dari
tindakan tersebut. Misal, mencoba meraih benda, mendorong piring yang ada di
meja, dan sebagainya. Melalui berbagai pengalamannya, bayi mulai mengembangkan
konsep diri bahwa mereka terpisah dari dunia luar. Konsep yang terjadi pada
tahap ini adalah adanya benda permanen. Artinya pemahaman benda itu tetap ada
meskipun benda itu tidak terjangkau oleh inderanya. Misalnya, sekalipun pada
tahap awal anak menunjukkan reaksi diam ketika suatu benda ditutupi kain,
tetapi pada akhirnya menyadari bahwa benda itu tetap ada, sehingga ia berusaha
untuk membuka tutup kain tersebut. Berikutnya mulai aktif mencari benda ke
tempat ke tempat biasa disembunyikan atau terakhir kali dilihatnya.
Saat anak mulai mampu menyampaikan
gagasannya secara simbolik dengan menggunakan kemampuan berbahasa, maka saat
simbolik dengan menggunakan kemampuan berbahasa, maka saat itu ia mulai siap
untuk memasuki ke jenjang tahapan berikutnya. Pada peride pra-operasional,
kegiatan seorang anak mulai dipenuhi dengan imajinasi dan mulai nampak
peningkatan kemampuannya dalam menggunakan bahasa sehingga ia secara cepat
dapat belajar sebanyak mungkin tentang lingkungannya.
Anak melihat adanya keindahan hidup
dan merasa senang dalam meningkatkan ketrampilan berkomunikasi melalui kegiatan
alamiah, membiarkan keadaan alamiah tanpa pengrusakan, dan membuat suatu cerita
yang luar biasa. Setelah menguasai kemampuan ini, merupakan tahapan operasi
konkret dimana anak mampu memecahkan masalahnya, percakapan meningkat baik segi
isi maupun maknanya, saat ini aturan dapat diterapkan. Aturan perlu dibenahi,
kesalahan dalam belajar perlu diluruskan sesuai dengan peraturan sebenarnya.
Saat mereka terpojok, biasanya mereka mulai melakuka pembelaan dengan
berbohong, anak mulai erasakan berbohong itu dapat dibenarkan.
Sutjihati (1996) menyebutkan bahwa
ciri-ciri yang terjadi pada tahap praoperasional adalah :
1.
Anak mulai belajar menggunakan bahasa
dan menggambarkan obyek dengan imajinasi dan kata-kata
2.
Proses pemikiran masih bersifat
egosentris. Belum mampu mengembangkan kemampuan untuk memandang suatu masalah
dari berbagai sudut. Mereka meyakini bahwa segala sesuatu sebagaimana Nampak
pada mereka, sehingga sulit untuk menerima pandangan oranglain.
3. Cenderung memusatkan perhatian mereka
kepada para ciri-ciri yang paling menarik dari stimulus (kecenderungan
memusat). Dalam mengklasifikasi misalnya, anak mampu mengelompokkan benda
berdasar warnanya tetapi tanpa memperhatikan bentuknya atau mengelompokkan
berdasar bentuknya tetapi mengabaikan warnanya.
4.
Kemampuan berpikirnya masih irreversible (tidak bersifat
bolak-balik). Belum mampu berpikir maju dan mundur tanpa distorsi. Atau
memahami asas-asas konservasi sebagaimana adanya. Yaitu bahwa jumlah suatu
bahan tidak berubah jika bentuknya diubah atau dibagi dalam bagian atau zat
cair tidak akan berubah volume atau beratnya jika dituangkan dari satu tempat
dengan bentuk tertentu ke tempat lain dengan bentuk lain.
5. Anak belum mampu melaksanakan penalaran
secara rasional. Pemikiranyya melompat pada kesimpulan hubungan sebab-akibat
hanya berdasar atas kesejajaran unsure-unsur dalam situasi yang bersifat
sederhana. Missal, ketika melihat ibunya membawa tas berarti mau pergi kerja.
Secara umum, pada tahap
praoperasional anak belum memiliki ketrampilan kognitif dengan dasar baik, baik
dalam klasifikasi, seriasi, korespondensi, maupun konservasi. Klasifikasi yaitu
kemampuan mengelompokkan obyek berdasarkan atribut dari obyek tersebut.
Misalnya; mengelompokkan dua atau tiga bentuk geometri. Seriasi, yaitu
kemampuan dalam mengurutkan susunan suatu obyek berdasarkan atribut dari obyek
tersebut. Misalnya dalam menyusun obyek dari yang paling panjang ke urutan yang
paling pendek. Korespondensi, yaitu kemampuan dalam memahami jumlah dari dua
kelompok obyek dalam karakteristik yang berbeda. Misalnya, pemahaman bahwa lima
buah apel dan lima buah semangka, memiliki jumlah yang sama. Sedangkan
konservasi, yaitu pemahaman terhadap kekekalan suatu obyek, sekalipun ada
perubahan posisi atau tempat atas obyek tersebut.
Perkembangan kognitif sebagai proses
pembentukan konsep atau pengertian hakekatnya merupakan proses yang kompleks,
karena dalam prosesnya melibatkan berbagai aspek kemampuan. Terutama kemampuan
bahasa, persepsi, perhatian, dan ingatan. Kemampuan bahasa mencakup kosa kata,
bahasa reseptif, maupun bahasa ekspresif. Kemampuan persepsi adalah kemampuan
dalam membedakan bentuk, pengelompokkan, maupun pemahaman tentang urutan obyek.
Konsenterasi berarti kemampuannya dalam memusatka perhatian terhadap obyek
dengan rentang waktu yang cukup lama dan tidak mudah teralihkan. Sedangkan
ingatan mancakup ingatan jangka panjang dan ingatan jangka pendek.
B. Hambatan Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif sering terjadi
sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya, baik lingkungan social
maupun lingkunan alam. Untuk itu dalam rangka memperoleh konsep atau
pengertian, melalui inderanya individu senantiasa berhubungan dengan
lingkungannya. Sekalipun masing-masing indera mempunyai sifat dan karakteristik
yang khas, namun dalam bekerjanya memerlukan kerjasama dan keterpaduan diantara
indera-indera tersebut. Sehingga memperoleh pengertian atau makna yang lengkap
dan utuh tentang objek dilingkungannya. Diperlukan kerjasama secara terpadu dan
serentak antara indera penglihatan, pendengaran, pengecap, perabaan, dan pembau
atau penciuman untuk mendapatkan pengenalan, pengertian, atau makna yang
lengkap dan utuh tentang lingkungannya. Atas dasar ini, adanya
hambatan-hambatan dalam penginderaan sebagaimana yang terjadi pada anak-anak
berkelainan, diperkirakan berdampak kepada perkembangan kognitifnya. Bagaimana
hambatan-hambatan pada anak-anak tersebut, khususnya pada usia dini dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Pada
Anak Tunanetra
Indera penglihatan ialah salah satu indera penting dalam
menerima informasi yang datang dari luar dirinya. Tahapan perkembangan perilaku
kognitif secara kuantitatif menurut Piaget akan tampak sekali bagaimana
besarnya peranan dan fungsi indera penglihatan sebagai mobilitas dalam
melakukan pengamatan-pengamatan terhadap objek yang ada disekitarnya. Karenanya
tidak mudah untuk menjelaskan secara utuh bagaimana perkembangan kognitif anak
tunanetra yang sebenarnya. Hal ini karena anak tunanetra tidak memiliki
kemampuan visual sebagai salah satu factor penting dalam perkembangan kognitif
yang jelas dibandingkan dengan anak pada umumnya, maka ketunanetraan akan
berakibat pada perkembangan kognitif.
Pada
tahapan sensori-motori, hambatan visual yang dialami anak tunanetra secara
langsung akan menghambat kemampuannya dalam pengamatan dan penginderaan yang
intensif terhadap dunia sekitarnya, sehingga akan menghambat proses pembentukan
konsep tentang objek, control skema, dan pengenalan hubungan sebab.
Pada
tahap pra-oprasional, sekalipun kemampuan bahasanya dapat berkembang
dengan baik, namun ketiadaan pengalaman visual akan menjadikan anak tunanetra
menghadapi kesulitan dalam cara berpikir yang bersifat transduktif sehingga
hasil dari kemampuannya dalam mengklasifikasi. Anak dapat mengklaasifikasi atas
dasar cirri-ciri yang menonjol berdasarkan cirri dari proses
pendengaran,perabaan, penciuman, atau pengecapan,walaupun semua itu tergantung
pada ada tidaknya suara, terjangkau tidaknya oleh tangan, ada tidaknya bau
serta rasa. Namun, klasifikasi yang terhubung dengan bentuk, keluasan atau
kedalaman, atau warna cenderung sulit atau bahkan tidak dapat dilakukan.
Akibatnya, pembentukan konsepnya menjadi tidak utuh.
Ketunanetraan
secara signifikan juga telah banyak berpengaruh dalam proses kognitif seperti
dalam presepsi ruang, synthesi, ketajaman sensori, daya ingat, kreativitas,
intelegensi, prestasi akademik ,
kemampuan bicara, dan kemampuan membaca.
Ditinjau
secara kualitatif, perkembangan fungsi-fungsi kognitif anak tunanetra sulit
diidentifikasi. Kesulitan ini terutama disebabkan banyaknya alat-alat
intelegensi yang tidak dapat digunakan secara utuh oleh anak tunanetra. Namun
demikian, secara umum anak tuananetra pada umumnya cenderung memiliki daya
ingat yang tinggi tetapi rendah dalam pengembangan konsep.
Pengalaman-pengalaman dalam kehidupannya juga cenderung tidak tersusun secara
terintegrasi, cenderung terpisah-pisah. Pada akhirnya, bagaimana perkembangan kognitif anak
tunanetra sangat tergantung pada bagaimana jenis ketunanetraan anak, kapan
terjadinya, dan bagaimana stimuli lingkunganterhadap upaya pengembangan
kognitifnya.
2.
Pada Anak Tunarungu
Pada umunya intelegensi anak tunarungu
secara potensial sama dengan anak normal, tetapi secara fungsional
perkembangannya dipengaruhi oleh tingkat
kemampuan berbahasanya, keterbatasan informasi, dan daya abstraksi anak. Akibat
ketunarunguannya menghambat proses pencapaian pengetahuan yang luas.
Perkembangan kognitif dipengaruhi oleh perkembangan bahasa, sebab bahasa adalah
alat berpikir dan sarana utama untuk komunikasi. Untuk menyampaikan ide,
gagasan, pendapat, konsep, pendapat atau perasaannya, serta memahami makna yang
terjadi di lingkungannya. Dengan demikian hambatan bahasa pada anak tunarungu
dapat berkonsentrasi terhadap perkembangan kognitifnya.
Kerendahan tingkat intelegensi pada anak
tunarungu bukan berasal dari hambatan intelektualnya yang rendah melainkan
secara umum karena intelegensinya tidak mendapat kesempatan untuk berkembang.
Pemberian bimbingan yang teratur trutama kecakapan berbahasa akan dapat
membantu perkembangan intelegensinya. Tidak semua aspek intelegensi anak
tunarungu terhambat. Aspek intelegensi yang menghambat perkembangannya adalah
yang bersifat verbal, misalnya merumuskan pengertian menghubungkan, menarik
kesimpulan dan meramalkan kejadian.
Aspek intelegensi yang bersumber dari
penglihatan yang berupa motorik tidak banyak mengalami hambatan tetapi justru
berkembang lebih cepat. Cruickshank
mengemukakan bahwa anak-anak tunarungu sering memperlihatkan
keterlambatan dalam belajar dan kadang-kadang tampak terbelakang. Keadaan ini
tidak hanya disebabkan karena derajat
gangguan pendengaran yang dialami anak tetapi juga tergantung pada potensi
kecerdasan yang di miliki, rangsanga mental, serta dorongan, dari lingkungan
dari luar yang memberikan kesempatan bagi anak
untuk mengembangkan kecerdasan itu.
3.
Pada Anak Tunagrahita
Para ahli psikologi perkembangan
umumnya beranggapan bahwa jiwa anak
tunaagrahita dibandingkan dengan anak normal
yang mempunyai MA yang sama secara teoritis akan memiliki tahap
perkembangan kognitif yang sama. Pendapat ini didasarkan pada sebuah asumsi
bahwa individu secara aktif mengkonstruksikan struktur internalnya melalui
interaksi dengan lingkungannya. Namun, pendapat ini tidak seluruhnya benar
sebab dan beberapa penelitian yang membuktikan bahwa anak tunagrahita memiliki
MA yang sama dengan anak normal tidak memiliki ketrerampilan kognitif yang
unggul dari pada anak normal. Anak normal memiliki kaidah dan strategi dalam
memecahkan masalah, sedangkan anak tunagrahita bersifat trial and error.
Woodward berdasarkan hasil
penenlitiannya menemukan bahwa kemampuan kognitif anak tunagrahita pada sensori
motor tidak berbeda dengan anak-anak normal pada umumnya sementara itu menurut
Wilton dan Boersma berdasarkan hasil penemuannya menyimpulkan bahwa : <1>
anak-anak terbelakang berat tidak mampu memahami konservasi, bahkan tidak mampu
mencapai tahap operasi kongkret, <2> anak-anak yang terbelakang ringan
mampu melakukan tugas-tugas konservasi yang lebih sederhana sebaik pada anak normal
dengan MA yang sama, dan <3> anak-anak terbelakan mental ringan tidak
mampu dalam konservasi volume, dan tidak akan pernah mencapai tahap oprasional
formal.
Secara umum, perkembangan kognitif yang
terjadi pada anak tunagrahita hakekatnya sama seperti yang terjadi pada anak
normal. Namun, untuk tahap berpikir yang sifatnya abstrak menjadi wilayah sulit
yang dicapai. Hal ini tidak lepas dari kenyataan bahwa terjadinya
keterbelakangan mental dapat berdampak kepada terjadinya hambatan dalam satu
atau beberapa proses kognitif seperti bahasa, presepsi, konsentrasi, memory,
pemunculan ide-ide, evaluasi dan penalaran.
Dalam kaitan dengan bahasa,
keterbelakangan mental menjadi perkembangan bahasanya terlambat. Penguasaan
kosa katanya menjadi sangat terbatas, artikulasinya tidak jelas, intonasinya
datar, secara gramatikal sering terjadi kesalahan. Kesulitan dalam memahami
kata-kata, atau bahasa yang di sampaikan oleh orang lain. Dalam hal presepsi,
sering kesulitan dalam hal menafsirkan apa yang dilihat. Dalam hal konsentrasi,
anak tidak mampu mencurahkan energinya pada suatu objek yang dihadirkan atau
dipelajari dalam waktu yang relative lama tanpa teralihkan kepada objek lain.
Berkenaan dengan memori, anak
tunagrahita berbeda dengan anak normal
pada short term memory. Anak tunagrahita tampaknya tidak berbeda dengan
anak normal dalam long term memory, daya ingatnya sama dengan anak normal. Akan
tetapi bukti-bukti menunjukan anak tunagrahita berbeda dengan anak normal dalam
hal mengingat yang segera. Beberapa penjelasan tentang kekurangan anak
tunagrahita pada ingatan jangka pendek dipahami dengan pendekatan konsep
neuro-biologis. Dalam teori kejenuhan cortical terhadap anak tunagrahita
terdapat sebuah hipotesis bahwa sel cortical anak tunagrahita terhambat dalam
perubahan kimia, listrik dan perubahan fisik. Perubahan-perubahan temporer yang
terjadi pada sel cortical lebih sulit.
Sementara itu, fleksibilitas mental yang
kurang pada anak tunagrahita
mengakibatkan kesulitan pengorganisasian
bahan yang akan di pelejari. Dampaknya, disamping sukar bagi anak
tunagrahita untuk menangkap informasi yang kompleks, juga pengetahuan dan
ide-idenya menjadi terbatas, tidak memiliki cukup bahan untuk melakukan
penilaian terhadap situasi lingkungan dan memahaminya secara benar sesuai hokum
logika.
4.
Anak Tunadaksa
Proses adaptasi individu menurut Piaget
terdiri dari proses akomodasi dan asimilasi, supaya proses – proses tersebut
dapat berlangsung sebagaimana mestinya maka diperlukan suatu lingkungan yang
memberikan dukungan dan juga memberikan dorongan, dan individu yang memiliki
anggota tubuh lengkap dalam arti fisik dan biologik.
Menurut Piaget, makin besar hambatan
yang dialami anak dalam berasimilasi dan berkomunikasi dengan lingkungannya,
makin besar pula hambatan yang dialami anak pada perkembangan kognitifnya,
dengan demikian akan menghambat anak itu melaksanakan asimilasim dengan
sempurna.
Keadaan tunadaksa menyebabkan gangguan
dan hambatan dalam keterampilan motorik, sehingga akan sangat berpengaruh
terhadap perkembangan keterampilan motorik yang lebih kompleks pada tahap
berikutnya. Keterbatasan ini sangat membatasi ruang gerak kehidupan anak
tersebut. Hambatan terhadap kegiatan eksplorasi lingkungan menimbulkan hambatan
terhadap masukan sensorik khususnya pada masa formatif. Hal ini mengurangi
stimulus yang diterima anak baik dalam arti jumlah maupun jenisnya. Adanya
deprivasi sensoris dan pengalaman pada anak tunadaksa jelas akan meberi dampak
terhadap perkembangan kognitifnya.
5.
Anak tunalaras
Anak tunalaras memiliki kecerdasan yang
tidak berbeda dengan anak normal pada umumnya. Karena itu, hambatan
perkembangan kognitif yang mungkin terjadi pada anak tunalaras lebih banyak
disebabkan oleh faktor – faktor kematangan emosi dan sosialnya. Secara umum
gangguan tingkah laku pada anak banyak terkait dengan kemampuan dalam
pesmusatan perhatian, oversensitive, kondisi emosi labil, kesulitan dalam
memahami aturan – aturan sosial, serta dalam pengendalian diri atau terhadap
aktivitas motoriknya, yang semuanya dapat berpengaruh terhadap perkembangan
kognitifnya. Karena itu, hambatan perkembangan kognitif yang terjadi pada anak
tunalaras kemungkinan besar terkait dengan masalah – masalah tersebut.
6.
Anak Berkesulitan Belajar
Dilihat dari perkembangan kognitif,
terdapat perbedaan nyata antara anak berkesulitan belajar (LD) dengan anak
normalpada umumnya. Perbedaan tersebut terletak pada penguasaan perbendaharaan
kata, kecepatan mereaksi, dan fleksibilitas berpikir. Anak LD cenderung
mengalami kesulitan dalam memahami variasi arti kata (semantik), nuansa dari
kata – kata, sindiran, dan yang mengandung kiasan. Anak LD juga cenderung
mengalami ketidakluwesan dalam berpikir. Sebagai contoh anak dapat memahami
konsep penjumlahan atau pengurangan, atau perkalian dan pembagian, tetapi
menjadi tidak dimengerti ketika anak dihadapkan pada soal – soal pecahan atau
bilangan decimal. Dengan kata lain anak LD kurang mampu memecahkan persoalan
melalui pendekatan jamak.
Secara kognitif anak LD juga mengalami
kesulitan untuk mengingat informasi dengan segera setelah informasi itu
disajikan (gangguan pada ingatan jangka pendek), dan konsentrasi (perhatian
selektif). Smith (1978, dalam Schwartz, 1984) telah mengelaborasi tipe khusus
berpikir anak LD, yaitu :
a) Tidak mampu melihat
hubungan sebab akibat. Khususnya penggunaan kata – kata “karena”. Tidak mampu berpikir
antisipatif dan melakukan penilaian.
b) Berpikir kaku. Suatu kata hanya dipahami satu
makna. Misal, mengetahui
5 + 7 = 12 tetapi tidak dapat menjawab
soal 12 = 7 + x
c) Mengalami kesulitan
melihat persamaan dan perbedaan, serta pemahaman hubungan.
d) Tidak dapat melihat
pola- pola. Tidak mampu mengelompokkan pola – pola yang sama untuk membentuk
suatu pola pikir baru
e) Miskin ingatan.
Tidak mampu mengingat nama – nama atau tempat, juga wajah.
f) Tidak mampu
mengorganisasikan fakta dan konsep yang sduah mereka miliki dan akibatnya tidak
mampu menggunakannya untuk pemecahan.
g) Tidak mampu
melakukan kategorisasi atau klasifikasi. Masing – masing pengalaman terpisah
satu dengan yang lain, tidak mampu membuat kesimpulan. Tidak mampu membuat
generalisasi dari konkret ke abstrak.
h) Tidak mampu
melakukan transfer belajar dari pelajaran yang satu ke yang lain.
i) Pemahaman konsep terlalu sempit atau luas.
Semua binatang berkaki empat adalah anjing. Kucing hanyalah berwarna hitas atau
putih (seperti yang pernah dilihatnya sendiri sebagai kucing) atau semua kucing
dipanggilnya dengan siulan, seperti panggilan kucingnya sendiri.
7.
Anak Autis
Anak autis cenderung kesulitan dalam
mengontrol masukan sensori dan konsekuensinya dapat menunjukkan hiperresponsif
atau sebaliknya yaitu hiporesponsif terhadap stimuli. Mereka juga menunjukkan
tidak acuh terhadap stimuli pendengaran maupun penglihatan, namun dapat
bertahan ketika bermain benda – benda yang dapat diputar atau dibongkar pasang.
Mereka juga cenderung menunjukkan kesulitan dalam bahasa, baik ekspresif maupun
reseptif, dalam pemusatan perhatian, pengenalan urutan, maupun dalam
merencanakan dan mengorganisasikan informasi hasil belajar. Akibatnya, anak
cenderung mengalami kesulitan dalam memahami instruksi yang lebih kompleks.
Misal, untuk mengerjakan sesuatu yang terdiri dari beberapa langkah atau
gerakan.
Hambatan perkembangan kognitif anak
autis juga ditunjukkan dengan adanya pemilikan cara berpikir yang berbeda
dibandingkan dengan anak pada umunya. Tidak dapat mengikuti jalan pikiran orang
lain, sulit memahami peristiwa yang tejadi dilingkungannya, sukar
mengekspresikan ide dan perasaan – perasaannya, sertan dalam memahami reaksi
orang lain atas perbuatannya,
Ornitz dan Rivto (Fallen dan Umansky ;
1985) menemukan bahwa anak autis dapat mengerjakan tugas – tugas dengan baik
yang memerlukan manipulasi keterampilan tangan. Namun keterbatasannya dalam
kognitif menjadikan anak autis cenderung berperilaku stereotip dalam menghadapi
lingkungannya.
C. Asesmen
Sekalipun masalah kognitif merupakan
aspek yang kompleks dan terkait dengan berbagai aspek perkembangan yang
lainnya, namun untuk memperoleh data yang komprehensif tentang perkembangan
kognitif anak tidaklah terlalu sulit. Sesuai dengan ruang lingkup perkembangan
kognitif yang terjadi pada masa kanak – kanak atau sampai pada tahap
pra-operasional, maka dalam kaitan dengan intervensi dini, ruang lingkup
asesmen hendaknya mencakup beberapa area, meliputi :
1.
Keterampilan kognitif dasar
Sampai dengan tahap pra-operasional,
perkembangan kognitif dasar anak sebenarnya belum sepenuhnya baik. Namun dalam
batas – batas yang sederhana anak sudah mampu memahaminya. Keterampilan
kognitif dasar adalah kemampuan anak dalam memahami klasifikasi, seriasi,
korespondensi, dan konservasi.
a.
Klasifikasi
Yaitu
kemampuan dalam mengelompokkan obyek berdasarkan atribut dari obyek tersebut.
Meliputi kemampuan dalam mengelompokkan benda berdasar atas warna, bentuk, atau
ukurannya, yang dilakukan secara bertahap muali dari jumlah yang sedikit dan
berdasar kepada satu atribut ke jumlah yang. Lebih
banyak dan lebih dari satu atribut. Misal, tahap pertama dimulai dengan
mengelompokkan kepingan puzzle yang berdasar atas warnanya saja, kemudian
ditingkatkan menjadi berdasar atas warna dan bentuknya.
b.
Seriasi
Yaitu
kemampuan dalam mengurutkan susuanan suatu obyek berdasarkan atribut dari obyek
tersebut. Misalnya menyusun urutan obyek berdasar atas ukuran panjang-pendek,
besar-kecil, tinggi-rendah, berat-ringan, atau berdasar atas pola-pola urutan
tertentu, misal berdasar atas warnanya.
c.
Korespondensi
Yaitu
kemampuan dalam memahami jumlah dari dua kelompok obyek dalam karakteristik
yang berbeda. Misalnya kelompok pensil dan pulpen, balok dan kubus, jeruk dan
apel, dan sejenisnya, dalam jumlah yang sama.
d.
Konservasi
Yaitu
kemampuan anak dalam memahami hukum kekekalan suatu obyek sekalipun terjadi
perubahan posisi atau tempat atas obyek tersebut. Misalnya, kekekalan jumlah
(terhadap obyek/benda yang dipisah dan disatukan), kekekalan berat (misal
terhadap bentuk bulat dan pipih), dan kekekalan isi atau volume (misal terhadap
air di gelas dan di piring).
2.
Kemampuan Bahasa
Fungsi berbahasa merupakan proses paling
kompleks di antara seluruh fase perkembangan. Fungsi berbahasa juga merupakan
indikator paling baik dari ada tidaknya gangguan perkembangan kognitif.
Perkembangan bahasa memerlukan fungsi reseptif dan ekspresif. Fungsi reseptif
adalah kemampuan anak untuk mengenal dan bereaksi terhadap seseorang, terhadap
kejadian lingkungan sekitarnya, mengerti maksud mimik, nada suara dan akhirnya
mengerti kata-kata. Fungsi ekspresif adalah kemampuan anak mengutarakan
pikirannya, dimulai dari komunikasi preverbal (sebelum anak dapat berbicara),
komunikasi dengan wajah ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan akhirnya terhaap
penguasaan kosa kata serat dalam penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari
secra verbal.
3.
Kemampuan Perhatian
Yaitu terhadap kemampuan anak dalam
memusatkan energi terhadap suatu obyekdalam rentang waktu yang lama tanpa mudah
teralihkan.
4.
Kemampuan persepsi
Yaitu terhadap kemampuan atau daya mengenal
benda, kualitas, atau perbedaan dua hal/lebih yang hadir dalam sifatnya yang
konkret jasmaniah melalui proses mengamati, mengetahui dan mengartikan setelah
panca indera mendpat rangsang. Daya mengenal benda, misalnya cangkir, buku,
sepeda, dan pulpen. Daya mengenal kualitas, misalnya cantik, miskin, pemarah
dan jauh. Daya mengenal perbedaan, misalnya terhadap suatu benda yang lebih
pendek, lebih kecil, atau lebih jauh.
5.
Kemampuan Ingatan
Termasuk kemampuan ingatan adalah
kemampuan untuk mengenal kembali (recognition : obyeknya hadir) dan mengingat
kembali (recall :obyeknya tidak hadir), serta kemampuan ingatan jangka pendek
(Short Term Memory) dan ingatan jangka panjang (Long Term Memory).
Disamping hal-hal diatas, penting pula
untuk menggali data atau informasi yangberhubungan dengan lingkungan anak,
terutama terhadap permasalahan dan harapan-harapan orang tua. Selanjutnya
keseluruhan data perlu dianalisis secara kritis untuk menemukan kesenjangan dan
kebutuhan-kebutuhan anak unutk dijadikan sebagai landasan dalam penyusunan
program intervensinya.
D. Program Intervensi
Walaupun teori perkembangan kognitif
yang diajukan Piaget tidak secara khusus membicarakan implikasinya terhadap nak
berkelainan, namun beberapa faktor yang telah diidentifikasikan dapat membantu
secara lebih jauh dalam memahami hambatan yang terjadi pada anak berkelainan
dan upaya yang berkaitan dengan intervensi.
Sebagaimana diketahui bahwa sampai
dengan tahap praoperasional, anak belum memiliki keterampilan kognitif dasar
dengan baik, baik dalam klasifikasi, seriasi, korespondensi, maupun konservasi.
Hal ini tidak lepas dari masih adanya beberapa kendala yang dihadapinya, yang
meliputi : (1) kendala egosentrisme (egocentrisme block), yaitu ketidakmampuan
untuk melihat titik pandang yang lain. Misal, anak percaya benda yang memilki
ciri sama dianggap sama. Benar hanaya menurut dirinya. Akibatnya, perkembangan
emphatinya menjadi terhamabt, karena orang lain dianggap sama dengan dirinya,
(2) kendala pemusatan (centration block), yaitu ketidakmampuan untuk fokus pada
lebih dari satu masalah. Misal deretan 3 koin bisa dipandang lebih banyak dari
pada deretan yang terdiri dari 5 koin, tetapi kecil-kecil. Akibatnya, pemecahan
masalah berdasar atas logika menjadi lebih sulit, sehingga perlu penjelasan
lebih, (3) kendala reversibilitas (reversibility block), yaitu ketidakmampuan
untuk bekerja dari depan ke belakang atau dari belakang ke depan. Misal anak
bisa memahami persoalan 3+2=... tetapi menjadi kesulitan ketika diubah menjadi
3+...=5. Akibatnya, anak sering kehilangan jejak bila sesuatu itu diubah,
sehingga perlu pengajaran yang lebih baik, dan (4) kendala transformasi
(transformation block), yaitu ketidakmampuan anak unutk menempatkan suatu
peristiwa dalam urutan atau susunan yang sebenarnya. Sulit memahami sebab dan
akibat, sehingga mengalami hambatan dalam memprediksi akibat dari perilakunya
pada diri sendiri atau pada orang lain.
Adanya hambatan-hambatan diatas,
mengisyaratkan bahwa dalam program intervensi dini mengharuskan kemampuan guru
atau therapis untuk melakukan upaya-upaya yang mampu meneliminir, mereduksi,
atau meminimalisir kendal-kendala tersebut. Dalam konteks ini, penggunaan media
yang sederhana, konkret, dan ada disekitar anak dalam kehidupan sehari-hari,
disertai penjelasan-penjelasan yang lebih melalui bahasa yang sederhana sesuai
bahasa anak, serta dilaksanakan secara telaten, kreatif, terstruktur, terpola,
konsisten, konsekuen, dan menyeluruh dengan fokus kepada permasalahan mendasar
(hamabatan belajar) yang dihadapi anak menjadi amat penting.
Ana dengan hambatan perkembangan
kognitif merupakan individu yang mengalami hambatan perkembangan yang kompleks,
dikarenakan banayak kemungkinan terkait dengan aspek fungsi bahas, persepsi,
perhatian, dan ingatan. Oleh karena itu penanganan secara terpadu merupakan
sesuatu yang sangat membantu dalam mengatasi berbagai persoalan yang dialami
oleh anak dengan hambatan perkembanagan kognitif.
1.
Prinsip
Dalam memfasilitasi
perkembangaan kognitif, Fallen dan Umansky (1985) menjelaskan bahwa anak
dilahirkan untuk belajar dan sifat dasar dalam belajar adalah dengan mengambil
keuntungan dari kesempatan yang datang dari lingkungannya. Untuk memperoleh
informasi, bayi berusaha menyelidiki stimulus yang datang dari lngkungannya
dengan tangan, kaki, dan mulut mereka, serta memperlambat gerak ketika
mendengarkan suara baru. Bagi anak yang tunanetra dilakukan dengan memanfaatkan
petunjuk visual, sedangkan bagi yang tunagrahita akan lebih mudah bila disertai
penjelasan dan penyederhanaan.
Dalam konsep intervensi, apabila anak
sibuk berarti anak sedang belajar. Untuk itu pemanfaatan media seperti
kertas,krayon,puzzle dan yang lainnya
amat penting dalam merangsang agar anak sibuk dan belajar.Atas dasar
ini,penciptaan lingkungan belajar yang ramh, kondusif,merangsang perkembangan
kognitif anak,serta diikuti dengan pemberian pujian menjadi sangat penting.
Lebih
lanjut dikemukakan tentang beberapa prinsip dalam memfasilitasi perkembangan
kognitif anak, meliputi :
A. Fokus
kepada proses
Dalam
membantu perkembangan kognitif anak, yang berarti membantu anak dalam proses
pembentukan konsep atau pengertian, Intervensi
harus lebih menekankan kepada bagaimana anak belajar dan berkembang
daripada apa yang dipelajari.Menekankan bagaimana anak melakukan
pemrosesan informasi dari aktivitas
belajar yang disajikan daripada sekedar menyelesaikan jumlah pekerjaan yang
dihadapinya.Dengan demikian anak diharapkan tidak mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan konsep dan
ketrampilan yang diperoleh ke dalam situasi yang berbeda.
B. Ketrampilan
guru
Dalam
membantu mempermudah perkembangan kognitif anak,guru harus memiliki beberapa
ketrampilan khusus,namun aplikasinya dapat berbeda untuk setiap anak
berkelainan. Beberapa ketrampilan tersebut, meliputi ketrampilan dalam :
1. Menggunakan
bahan dan aktivitas yang dapat mempertahankan minat dan perhatian anak
Dilakukan untuk memenangkan persaingan dengan stimulus lain disekitar. Caranya dengan memilih atau memodifikasi alat / media
yang mampu meningkatkan stimulus anak. Misal, melalui suara yang lebih keras
untuk meningkatkan perhatian pendengaran,gambar-gambar yang warna yang mencolok/cerah untuk
meningkatkan perhatian visual, tekstur yang beragam untuk meningkatkan
perhatian perabaan,kinestetik,melalui berbagai aktivitas yang bervariasi agar
tidak cepat bosan atau melalui bermain sehingga lebih menyenangkan.
2. Memilik
aktivitas dengan titik akhir intrinsic.
Yaitu dengan membuat situasi yang
memungkinkan anak tertantang dengan membuat situasi yang memungkinakn anak
tertantang untuk melakukan aktivitas atau menyelesaikan sendiri secara aktif
tanpa tergantung kepada control dari lingkungan
3. Menggunakan
bahasa sebagai alat kognitif
Untuk menghubungkan informasi dan
mendapatkan konsep,anak harus dikenalkan label terhadap obyek-obyek yang
dipelajarinya,terutama mengenai nama, persamaan,perbedaan,dan hubungannya
sebagai bahan untuk melakukan sintesa dan pemacahan masalah.
4. Bertanya
kepada anak dengan pertanyaan-pertanyaan yang menantang dan memuaskan.
Yaitu kemampuan untuk menggunakan
pertanyaan yang mencerminkan ungkapan penghargaan terhadap apa yang telah
dilakukan dan menayakannya lebih lanjut kemengapaannya atau tindakan
selanjutnya.Misal,” Bagus Andi,mengapa bentuk bulat bias masuk ke lingkaran itu
?” atau “Bapak senang,kamu sudah bias.Sekarang kalau yang ini bagaimana ?”
5. Memberikan
kesempatan kepada anak untuk melakukan penemuan dan dalam memilih tugas-tugas
belajar.
Penemuan merupakan halpenting dalam
perkembangan kognitif.Melalui eksplorasi,anak akan lebih banyak menyerap
informasi tentang lingkungannya.Karena itu penting bagi guru untuk memberikan
kesempatan kepada anak untuk melakukan penemuan-penemuan melalui eksplorasi
terhadap lingkungannya, serta memilih tugas-tugas yang sama di lain waktu
secara mandiri.
6. Mengidentifikasi
dan menggunakan saluran primer sesuai masing-masing anak
Masing-masing anak memiliki pebedaan
dalam gaya belajar atau dalam menerima dam memproses informasi.Beberapa anak
lebih efektif dengan masukan auditori sementara yang lain dengan visual dan
takstil.Tugas guru adalah fleksibel dalam memilih pendekatan belajar yang
sesuai dengan gaya belajar anak.
Disamping prinsip-proinsip diatas secara
umum prinsip lainnya adalah:
a. Intervensi
hendaknya sampai pada taraf memahami bukan berhenti pada tahap menghafal.
b. Dilakukan
dengan menggunakan media yang sederhana tetapi menarik dan aman bagi anak.
c. Materi
pembelajaran disusun mulai dari yang mudah dan sederhana menuju ke yang sukar dan lebih kompleks.
d. Memperhatikan
perbedaan individual, terutama terhadap taraf perkembangan dan
hambatan-hambatan yang menyertainya.
e. Dilakukan
dalam situasi yang menyenangkan dan memungkinkan anak untuk aktif terlibat
secara langsung, misalnya sambil bermain atau dalam bentuk permainan.
f. Menghargai setiap keberhasilan atau kemajuan
belajar anak.
2.
Lingkup Intervensi dan Bentuk Latihan
a.
Pengembangan kemampuan kognitif dasar
Dapat
dilakukan melalui :
1). Pengenalan secara intensif terhadap obyek atau
benda-benda yang ada dilingkunagn anak sehari-hari
2). Menunjukan hubungan antara dua hal
3). Latihan-latihan
klasifikasi,seriasi,korespondensi dan konservasi secara beragam disertai dengan
penjelasan-penjelasan yang lebih.Misal,untuk latihan klasifikasi dapat
dilakukan berdasar atas bentuk,warna,ukuran,rasa,raba,bau,suara dan yang
lainnya
b.
Pengembangan persepsi
Sebagaian
anak yang mengalami hambatan perkembangan kognitif,mengalami hambatan dalam
persepsi dan dapat berbentuk hambatan yang bersifat persepsi
visual,auditori,perabaan,ruang,ataupun tubuh.Untuk anak yang demikian,
intervensi dapat dilakukan melalui latihan-latihan sebagai berikut :
a. Latihan
persepsi visual
a)
Pengenalan obyek dalam ruang
b)
Diskriminasi obyek dari yang lainnya
c)
Menyatukan gambar,model,bentuk atau
huruf yang sama
d)
Mengenal diskriminasi bentuk-bentuk
geometri bidang datar
e)
Mengenal obyek tertentu
f)
Diskriminasi bentuk huruf atau benda
yang hampir sama
g) Diskriminasi ukuran: tinggi-rendah,
panjang-pendek, besar kecil, dalam-dangkal, kurus-gemuk
b. Latihan
persepsi auditori
a). Diskriminasi bunyi
keras-lemah melalui gerakan (menghentakkan kaki-jinjit, bertepuk tangan, mengetuk,
meniru suara hewan/mesin, dsb)
b). Diskriminasi bunyi cepat-lambat,
panjang-pendek, lembut-keras.
c). Identifikasi banyak, sumber, dan arah bunyi
d). Identifikasi
bunyi sinyal (klakson, telepon)
e). Latihan
vocal/ konsonan/ konfigurasi
f). Diskriminasi huruf yang hampir sama bunyinya (b
dan g, m dan n, dsb)
g). Latihan irama bunyi
h). Latihan melaksanakan petunjuk/ instruksi
i). Latihan menceritakan kembali
c.
Latihan persepsi perabaan
a) Diskriminasi
permukaan kasar-halus, keras-lembek
b) Menelusuri
bentuk geometri
c) Menelusuri
bentuk huruf atau gambar
d.
Latihan persepsi ruang
a) Diskriminasi
gerak tangan, besar-kecil
b) Diskriminasi
langkah kaki
c) Menelusuri
lorong
d) Diskriminasi
lubang
e) Diskriminasi
aktivitas ruang besar-kecil
e.
Latihan persepsi tubuh
a) Diskriminasi
letak anggota badan
b) Diskriminasi
kanan-kiri, atas-bawah
c) Diskriminasi
bentuk tubuh
d) Diskriminasi
besar-kecil, panjang-pendek
e) Diskriminasi
gerak tubuh
f) Diskriminasi
maju-mundur
c. Pengembangan
perhatian dan konsentrasi
Perhatian dan konsentrasi merupakan dua
hal saling berkaitan. Perhatian menunjuk pada kualitas sedang konsentrasi
kepada kuantitas. Dalam intervensi kepada anak
yang mengalami gangguan perhatian dan konsentrasi, shingga menghambat
perkembangan kognitifnya, latihan-latihan yang dapat diberikan seperti :
1) Identifikasi
benda, bentuk, atau gambar tertentu
2) Mendengarkan
cerita
3) Tiduran
dalam jangka waktu tertentu
4) Latihan
pengendalian gerak tubuh dengan mata terpejam
5) Latihan
relasi simbolik dengan gerak tertentu
6) Latihan
memasukkan benda dalam lubang, dari lubang besar ke kecil
7) Latihan
membawa benda
8) Latihan
papan keseimbangan
9) Latihan
relaksasi, dsb.
Anak
dengan gangguan perhatian umumnya sensitif
terhadap stimulus yang tidak relevan yang dating dari lingkungan. Untuk
mengurangi atau membaasi stimulus dari lingkunga dapat dilakukan dengan cara :
1) Pilih
tempat yang cukup sunyi
2) Dinding
tidak banyak gambar/hiasan
3) Lantai
dipasang karpet
4) Jendela
tertutup
5) Gunakan
almari atau rak yang tertutup
6) Gunakan
ruangan-ruangan yang kecil
7) Bila
mungkin, gunakan ruangan kedap suara.
Pembatasan
stimulus di atas hendaknya hanya dilakukan pada tahap awal, untuk tahap
selanjutnya penangana hendaknya dilakukan dalam ruang-ruang biasa seperti yang
dipakai anak-anak lainnya.
d. Pengembangan
bahasa, misalnya melalui latihan :
1) Pengembangan
kosa kata.
2) Pengembangan
struktur kalimat.
3) Pengembangan
memahami petunjuk.
4) Pengembangan
kemampuan mengemukakan pendapat, idea tau gagasan secara lisan.
5) Pengembangan
kemampuan untuk menilai sesuatu.
6) Pengembangan
keterampilan menyimak.
Untuk
mengembangkan hal-hal di atas dapat dilakukan dengan mengjak anak untuk
mendengarkan cerita, mendengarkan musik,
bernyanyi, bermain bersama, atau jalan-jalan ke taman, sawah, kebun binatang,
hutan, ataupun mall.
e. Pengembangan
ingatan, misalnya melalui :
1) Penggunaan
media yang sesuai dan menarik minat anak
2) Penyampaian
bahan atau materi sedikit demi sedikit
3) Mengulang
bahan belajar
4) Menghubungkan
bahan yang dipelajari dengan bahan lainnya yang sejenis (system mnemonic)
5) Pemanfaatan
secara maksimal seluruh saluran indera secara serentak (multi sensori
stimultant approach)
6) Teknik
pengelompokan (chunking), seperti kta dalam menghafal nomor telepon. Missal,
27884 (tujuh chunk) menjadi 2788-454 (2 chunk)
7) Teknik
penggunaan kata kunci, seperti pada penggunaan singkatan.
3.
Pengembangan
program
Dalam mengembangkan
program intervensi pada anak dengan hambatan perkembangan kognitif melalui
kegiatan pembelajaran, paling tidak terdapat lima hal penting yang harus
diperhatikan, yaitu :
a) Terstruktur
Program
pembelajaran terstruktur menekankan pada pendekatan teacher-oriented dengan menstrukturkan berbagai bahan belajar.,
aktivitas, dan lingkungan sehingga lebih terarah dan sistematis. Bahan belajar
yang terstruktur berarti bahan belajar disusun mulai dari yang paling mudah dan
dapat dilakukan anak dan kemudian secara bertahap meningkat ke atasnya, namun
merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dari bahan belajar sebelumnya.
Misalnya, untuk mengajarkan agar anak memahami instruksi “tutup pintu”, anak
harus dikenalkan terlebih dahulu dengan konsep “tutup” dan “pintu”, setelah menguasai arti kata
tersebut, baru anak diminta untuk mengaktualisasikannya ke dalam perbuatan
nyata.
b) Terpola
Artinya
bahwa kegiatan pembelajaran hendaknya dikondisikan dalam pola yang teratur atau
terjadwal, sehingga menjadi bagian dari rutinitas kegiatan anak. Namun harus
fleksibel sesuai dengan situasi dan kondisi, sehingga tidak kaku dan anak dapat
belajar menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan.
c) Terprogram
Artinya
tersusun dan terencana dengan baik, meliputi tujuan yang ingin dicapai, bahan
belajar, aktivitas pembelajaran yang akan dilakukan, media, waktu, serta
evaluasinya.
d) Konsisten
Artinya
ada ketetapan dalam cara-cara memperlakukan anak. Konsistensi ini hendaknya
mencakup sikap terhadap anak, pemberian penghargaan dan hukuman, waktu, tempat,
serta dalam perlakuan terhadap anak antara guru/terapis dengan orang tua.
e) Berkesinambungan
Artinya
ada kontinuitas atau kesinambungan, tidak terpenggal-penggal.
penggal
atau terhenti untuk waktu yang lama kemudian baru dilanjutkan lagi. Kontinuitas
juga berarti menuntut adanya tindak lanjut dari apa yang dilakukan oleh
guru/therapis di klinik (misal) dengan oleh orang tua di rumah.
Selanjutnya, pengembangan program
intervensi hendaknya dituangkan dalam Program Pembelajaran Individual (PPI).
Dengan PPI akan memastikan bahwa anak mendapat jaminan untuk memperoleh
pelayanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan spesifiknya.
4. Metode dan teknik
Terdapat beberapa metode yang
dianggap cocok dalam intervensi pada anak dengan hambatan perkembangan kogniti,
salah satu yang paling mudah adalah melalui penggunaan pemikiran Piaget tentang
pembentukan kognitif dasar, yang implementasinya melalui latihan-latihan
klasifikasi, seriasi, korespondensi maupun konservasi. Disamping itu terdapat
pula metode lain yang dapat digunakan, antara lain
a. Metode
TEACCH
Metode
TEACCH (Treatment and Education of
Aitistic and Related Comunication Handicapped Children and Adults), selain
efektif untuk meningkatkan kemampuan komunikasi pada anak autis, dan
implementasinya juga dipercaya mampu untuk meningkatkan kognitif anak. Sebab,
melalui penggunaan simbol atau gambar-gambar akan lebih banyak memberikan
kemudahan bagi anak dalam memaknai peristiwa yang terjadi di lingkungannya.
b. Metode
Multisensori
Metode
multisensori atau VAKT (visual, auditory,
kinesthetic, and tactile) adalah suatu cara yang teratur yang digunakan
untuk membantu anak dalam mencapai tingkat kemampuan yang optimal, dengan lebih
memfokuskan pada pemfungsian semua indra/sensori (seperti : penglihatan,
pendengaran, perabaan, penciuman dan pengecapan)dari anak secara simultan dan
terpadu. Melalui metode ini hambatan perkembangan kognitif yang terjadi pada
anak karena hambatan dalam indra tertentu diharapkan bisa dikompensasikan oleh
indra lainnya yang masih berfungsi dengan lebih baik, sehingga proses
pembentukkan konsep dapat dilakukan dengan lebih utuh.
c. Metode
Sensori Integrasi Therapi
Yaitu
terapi yang menggunakan aktivitas fisik untuk meningkatkan kemampuan otak
mengatur penerimaan rangsang dan mengatur respons terhadap rangsang tersebut
secara tepat. Penekanan terapi ini adalah pada sensomotorik dan proses
neurologi dengan cara memanipulasi, memfasilitasi dan menata lingkungan,
sehingga secara bertahap dapat tercapai peningkatan, perbaikan dan pemeliharaan
kemampuan kognitif anak. Dalam implementasinya, pelaksanaan terapi ini perlu
disukung dengan sarana/peralatan/media terapi yang memadai.
d. Teknik
Pengalaman Langsung
Yaitu
melalui penciptaan situasi dan kondisi yang memungkinkan anak belajar dengan
mengalami secara langsung dan nyata. Dalam implementasinya dapat dilakukan
melalui eksperimen sederhana, problem solving, pembelajaran, simulasi, atau
bermain peran (role playing)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar