Selasa, 24 Maret 2015

Konsep Media Pembelajaran Anak Tunadaksa



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Briggs (1977) menyatakan bahwa media pembelajaran adalah sarana fisik untuk menyampaikan isi atau materi pembelajaran seperti : buku, film, video dan sebagainya.  Media pembelajaran secara umum adalah alat bantu proses belajar mengajar yang berguna untuk memudahkan proses belajar mengajar, dalam rangka mengefektifkan komunikasi antara guru dan siswa. Proses ini membutuhkan guru yang mampu menyelaraskan antara media pembelajaran dan metode pembelajaran.
Pemakaian media pembelajaran dalam proses belajar mengajar juga dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru bagi siswa, membangkitkan motivasi belajar, dan bahkan membawa pengaruh psikologis terhadap siswa. Pada Anak Berkebutuhan Khusus penggunaan media pembelajaran sangat diperlukan. Sebab anak-anak merupakan anak-anak yang relative mengalami hambatan dalam perkembangannya. Mereka sering menghadapi berbagai macam masalah, salah satunya di bidang akademik atau kognitif. Sebagai alat bantu dalam mengajar, media diharapkan dapat memberikan pengalaman konkret, motivasi belajar, mempertinggi daya serap dan retensi belajar siswa.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Anak Tunadaksa?
2.      Apa pengertian media pembelajaran?
3.      Bagaimana pengembangan media pembelajaran bagi Anak Tunadaksa?

1.3  Tujuan
1.      Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian Anak Tunadaksa
2.      Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian media pembelajaran
3.      Mahasiswa mampu menjelaskan pengembangan media pembelajaran bagi Anak Tunadaksa
4.      Mahasiswa mengetahui konsep  media pembelajaran bagi Anak Tunadaksa
5.      Mahasiswa mampu membuat media pembelajaran Anak Tunadaksa

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Anak Tunadaksa
Anak tunadaksa sering disebut dengan istilah anak cacat tubuh, cacat fisik, dan cacat ortopedi. Istilah tunadaksa berasal dari kata “tuna yang berarti rugi atau kurang dan daksa yang berarti tubuh“. Tunadaksa adalah anak yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna, sedangkan istilah cacat tubuh dan cacat fisik dimaksudkan untuk menyebut anak cacat pada anggota tubuhnya, bukan cacat indranya. Selanjutnya istilah cacat ortopedi terjemahan dari bahasa Inggris orthopedically handicapped. Orthopedic mempunyai arti yang berhubungan dengan otot, tulang, dan persendian. Dengan demikian, cacat ortopedi kelainannya terletak pada aspek otot, tulang dan persendian atau dapat juga merupakan akibat adanya kelainan yang terletak pada pusat pengatur sistem otot, tulang dan persendian.
Anak tunadaksa dapat didefinisikan sebagai penyandang bentuk kelainan atau kecacatan pada sistem otot, tulang dan persendian yang dapat mengakibatkan gangguan koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan keutuhan pribadi. Salah satu definisi mengenai anak tunadaksa menyatakan bahwa anak tunadaksa adalah anak penyandang cacat jasmani yang terlihat pada kelainan bentuk tulang, otot, sendi maupun

2.1.1 Klasifikasi Anak Tunadaksa
Agar lebih mudah memberikan layanan terhadap anak tunadaksa, perlu adanya sistem penggolongan (klasifikasi). Penggolongan anak tunadaksa bermacam-macam. Salah satu diantaranya dilihat dari sistem kelainannya yang terdiri dari (1) kelainan pada sistem cerebral (cerebral system) dan (2) kelainan pada sistem otot dan rangka (musculus skeletal system).
Penyandang kelainan pada sistem cerebral, kelainannya terletak pada sistem saraf pusat, seperti cerebral palsy (CP) atau kelumpuhan otak. Cerebral palsy ditandai oleh adanya kelainan gerak, sikap atau bentuk tubuh, gangguan koordinasi, kadang-kadang disertai gangguan psikologis dan sensoris yang disebabkan oleh adanya kerusakan atau kecacatan pada masa perkembangan otak. Soeharso (1982) mendefinisikan cacat cerebral palsy sebagai suatu cacat yang terdapat pada fungsi otot dan urat saraf dan penyebabnya terletak dalam otak. Kadang-kadang juga terdapat gangguan pada pancaindra, ingatan, dan psikologis (perasaan).
Menurut derajat kecacatannya, cerebral palsy diklasifikasikan menjadi (1) ringan, dengan ciri-ciri, yaitu dapat berjalan tanpa alat bantu, bicara jelas, dan dapat menolong diri ; (2) sedang, dengan ciri-ciri : membutuhkan bantuan untuk latihan berbicara, berjalan, mengurus diri, dan alat-alat khusus, seperti brace ; dan (3) berat, dengan ciri-ciri, yaitu membutuhkan perawatan tetap dalam ambulasi, bicara, dan menolong diri.
Sedangkan menurut letak kelainan di otak dan fungsi geraknya cerebral palsy dibedakan atas : (1) spastik, dengan ciri seperti terdapat kekakuan pada sebagian atau seluruh ototnya ; (2) dyskenisia, yang meliputi athetosis (penderita memperlihatkan gerak yang tidak terkontrol), rigid (kekakuan pada seluruh tubuh sehingga sulit dibengkokkan) ; tremor (getaran kecil yang terus menerus pada mata, tangan atau pada kepala) ; (3) Ataxia (adanya gangguan keseimbangan, jalannya gontai, koordinasi mata dan tangan tidak berfungsi ; serta (4) jenis campuran (seorang anak mempunyai kelainan dua atau lebih dari tipe-tipe di atas).
Golongan anak tunadaksa berikut ini tidak mustahil akan belajar bersama dengan anak normal dan banyak ditemukan pada kelas-kelas biasa. Penggolongan anak tunadaksa dalam kelompok kelainan sistem otot dan rangka tersebut adalah sebagai berikut.

1. Poliomyelitis
Ini merupakan suatu infeksi pada sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh virus polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan sifatnya menetap. Dilihat dari sel-sel motorik yang rusak, kelumpuhan anak polio dapat dibedakan menjadi :
a.  Tipe spinal, yaitu kelumpuhan pada otot-otot leher, sekat dada, tangan dan kaki
b. Tipe bulbair, yaitu kelumpuhan fungsi motorik pada satu atau lebih saraf tepi dengan ditandai adanya gangguan pernapasan
c.  Tipe bulbispinalis, yaitu gabungan antara tipe spinal dam bulbair;
d. Encephalitis yang biasanya disertai dengan demam, kesadaran menurun, tremor, dan kadang-kadang kejang.
Kelumpuhan pada polio sifatnya layu dan biasanya tidak menyebabkan gangguan kecerdasan atau alat-alat indra. Akibat penyakit poliomyelitis adalah otot menjadi kecil (atropi) karena kerusakan sel saraf, adanya kekakuan sendi (kontraktur), pemendekan anggota gerak, tulang belakang melengkung ke salah satu sisi, seperti huruf S (Scoliosis), kelainan telapak kaki yang membengkok ke luar atau ke dalam, dislokasi (sendi yang ke luar dari dudukannya), lutut melenting ke belakang (genu recorvatum).

2. Muscle Dystrophy
Jenis penyakit yang mengakibatkan otot tidak berkembang karena mengalami kelumpuhan yang sifatnya progresif dan simetris. Penyakit ini ada hubungannya dengan keturunan.

3. Spina bifida
Merupakan jenis kelainan pada tulang belakang yang ditandai dengan terbukanya satu atau 3 ruas tulang belakang dan tidak tertutupnya kembali selama proses perkembangan. Akibatnya, fungsi jaringan saraf terganggu dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, hydrocephalus, yaitu pembesaran pada kepala karena produksi cairan yang berlebihan. Biasanya kasus ini disertai dengan ketunagrahitaan (Black, 1975).

2.1.2 Karakteristik Anak Tunadaksa
Karakteristik anak tunadaksa yang akan dibahas dalam hal ini adalah berikut ini.
1. Karakteristik Akademik
Pada umumnya tingkat kecerdasan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem otot dan rangka adalah normal sehingga dapat mengikuti pelajaran sama dengan anak normal, sedangkan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem cerebral, tingkat kecerdasannya berentang mulai dari tingkat idiocy sampai dengan gifted. Hardman (1990) mengemukakan bahwa 45% anak cerebral palsy mengalami keterbelakangan mental (tunagrahita), 35% mempunyai tingkat kecerdasan normal dan di atas normal. Sisanya berkecerdasan sedikit di bawah rata-rata. Selanjutnya, P. Seibel (1984:138) mengemukakan bahwa tidak ditemukan hubungan secara langsung antara tingkat kelainan fisik dengan kecerdasan anak. Artinya, anak cerebral palsy yang kelainannya berat, tidak berarti kecerdasannya rendah.
Selain tingkat kecerdasan yang bervariasi anak cerebral palsy juga mengalami kelainan persepsi, kognisi, dan simbolisasi. Kelainan persepsi terjadi karena saraf penghubung dan jaringan saraf ke otak mengalami kerusakan sehingga proses persepsi yang dimulai dari stimulus merangsang alat maka diteruskan ke otak oleh saraf sensoris, kemudian ke otak (yang bertugas menerima dan menafsirkan, serta menganalisis) mengalami gangguan. Kemampuan kognisi terbatas karena adanya kerusakan otak sehingga mengganggu fungsi kecerdasan, penglihatan, pendengaran, bicara, rabaan, dan bahasa, serta akhirnya anak tersebut tidak dapat mengadakan interaksi dengan lingkungannya yang terjadi terus menerus melalui persepsi dengan menggunakan media sensori (indra). Gangguan pada simbolisasi disebabkan oleh adanya kesulitan dalam menerjemahkan apa yang didengar dan dilihat. Kelainan yang kompleks ini akan mempengaruhi prestasi akademiknya.

2. Karakteristik Sosial/Emosional
Karakteristik sosial/emosional anak tunadaksa bermula dari konsep diri anak yang merasa dirinya cacat, tidak berguna, dan menjadi beban orang lain yang mengakibatkan mereka malas belajar, bermain dan perilaku salah suai lainnya. Kehadiran anak cacat yang tidak diterima oleh orang tua dan disingkirkan dari masyarakat akan merusak perkembangan pribadi anak. Kegiatan jasmani yang tidak dapat dilakukan oleh anak tunadaksa dapat mengakibatkan timbulnya problem emosi, seperti mudah tersinggung, mudah marah, rendah diri, kurang dapat bergaul, pemalu, menyendiri, dan frustrasi. Problem emosi seperti itu, banyak ditemukan pada anak tunadaksa dengan gangguan sistem cerebral. Oleh sebab itu, tidak jarang dari mereka tidak memiliki rasa percaya diri dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.

3. Karakteristik Fisik/Kesehatan
Karakteristik fisik/kesehatan anak tunadaksa biasanya selain mengalami cacat tubuh adalah kecenderungan mengalami gangguan lain, seperti sakit gigi, berkurangnya daya pendengaran, penglihatan, gangguan bicara, dan lain-lain. Kelainan tambahan itu banyak ditemukan pada anak tunadaksa sistem cerebral. Gangguan bicara disebabkan oleh kelainan motorik alat bicara (kaku atau lumpuh), seperti lidah, bibir, dan rahang sehingga mengganggu pembentukan artikulasi yang benar. Akibatnya, bicaranya tidak dapat dipahami orang lain dan diucapkan dengan susah payah. Mereka juga mengalami aphasia sensoris, artinya ketidakmampuan bicara karena organ reseptor anak terganggu fungsinya, dan aphasia motorik, yaitu mampu menangkap informasi dari lingkungan sekitarnya melalui indra pendengaran, tetapi tidak dapat mengemukakannya lagi secara lisan. Anak cerebral palsy mengalami kerusakan pada pyramidal tract dan extrapyramidal yang berfungsi mengatur sistem motorik. Tidak heran mereka mengalami kekakuan, gangguan keseimbangan, gerakan tidak dapat dikendalikan, dan susah berpindah tempat. Dilihat dari aktivitas motorik, intensitas gangguannya dikelompokkan atas hiperaktif yang menunjukkan tidak mau diam, gelisah; hipoaktif yang menunjukkan sikap pendiam, gerakan lamban, dan kurang merespons rangsangan yang diberikan ; dan tidak ada koordinasi, seperti waktu berjalan kaku, sulit melakukan kegiatan yang membutuhkan integrasi gerak yang lebih halus, seperti menulis, menggambar, dan menari.

2.2 Pengertian Media Pembelajaran
                 Media adalah kata jamak dari medium, yang artinya perantara. Menurut Schramm (1977), media pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan (informasi) yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Sedang menurut Arief S. Sadiman (1986) media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat siswa sehingga belajar proses belajar terjadi

2.2.1 Manfaat Media Pembelajaran
Secara umum manfaat media dalam pembelajaran adalah memperlancar interaksi guru dan siswa, dengan maksud membantu siswa belajar secara optimal. Namun demikian, secara khusus manfaat media pembelajaran dikemukakan oleh Kemp dan Dayton (1985), yaitu :
1. Penyampaian materi pembelajaran dapat diseragamkan
Guru mungkin mempunyai penafsiran yang beraneka ragam tentang sesuatu hal. Melalui media, penafsiran yang beragam ini dapat direduksi dan disampaikan kepada siswa secara seragam.

2. Proses pembelajaran menjadi lebih menarik
Media dapat menyampaikan informasi yang dapat didengar (audio) dan dapat dilihat (visual), sehingga dapat mendeskripsikan prinsip, konsep, proses atau prosedur yang bersifat abstrak dan tidak lengkap menjadi lebih jelas dan lengkap.

3. Proses pembelajaran menjadi lebih interaktif
Jika dipilih dan dirancang dengan benar, media dapat membantu guru dan siswa melakukan komunikasi dua arah secara aktif. Tanpa media, guru mungkin akan cenderung berbicara “satu arah” kepada siswa.

4. Jumlah waktu belajar-mengajar dapat dikurangi
Sering kali terjadi, para guru banyak menghabiskan waktu untuk menjelaskan materi ajar. Padahal waktu yang dihabiskan tidak perlu sebanyak itu, jika mereka memanfaatkan media pembelajaran dengan baik.

5. Kualitas belajar siswa dapat ditingkatkan
Penggunaan media tidak hanya membuat proses pembelajaran lebih efisien, tetapi juga membantu siswa menyerap materi ajar secara lebih mendalam dan utuh.

6. Proses pembelajaran dapat terjadi dimana saja dan kapan saja
Media pembelajaran dapat dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat belajar dimana saja dan kapan saja mereka mau, tanpa tergantung pada keberadaan guru.

7. Sikap positif siswa terhadap proses belajar dapat ditingkatkan
Dengan media, proses pembelajaran menjadi lebih menarik. Dan hal ini dapat meningkatkan kecintaan dan apresiasi siswa terhadap ilmu pegetahuan dan proses pencarian ilmu.

8. Peran guru dapat berubah ke arah yang lebih positif dan produktif
Dengan media, guru tidak perlu mengulang-ulang penjelasan dan mengurangi penjelasan verbal (lisan), sehingga guru dapat memberikan perhatian lebih banyak kepada aspek pemberian motivasi, perhatian, bimbingan dan sebagainya.

2.3 Pengembangan Media Pembelajaran Untuk Anak Tunadaksa
2.3.1 Goals
1) Anak mampu mengelompokkan berbagai bangun ruang sederhana (balok, prisma, tabung, bola, dan kerucut)
2) Anak mampu menentukan urutan benda-benda yang sejenis menurut besarnya
(Sesuai dengan KD SDLB-D Kelas 1 Semester 1. Mata pelajaran Matematika, Geometri dan Pengukuran)

2.3.2 Conditions
1.      Disediakan sebuah kotak hitam persegi dengan sisi depannya diberi lubang. Kira-kira besar lubang dapat dilewati oleh tangan orang dewasa. Kemudian, disediakan juga lampu indicator BENAR SALAH dimana indicator salah ditandai dengan lampu merah kemudian indicator benar ditandai dengan lampu hijau yang masing-masing memiliki suara atau bunyi yang telah disesuaikan.
2.      Selain itu, disediakan pula tampilan materi yang akan diajarkan dalam bentuk slide show menggunakan LCD.
3.      Anak diintruksikan untuk menebak bangun ruang yang ditampilkan di layar. Jika anak menebak dengan benar maka lampu hijau akan menyala disertai dengan bunyi yang khas. Sebaliknya, jika anak menebak salah maka lampu merah akan menyala disertai dengan bunyi yang khas juga.
4.      Selanjutnya, anak mengurutkan bangun  ruang yang sejenis berdasarkan besarnya. Disediakan tiga bangun ruang yang sejenis dengan ukuran yang berbeda. Kemudian, anak menyusun bangun ruang tersebut dari yang terbesar ke yang terkecil dengan bantuan guru.  

2.3.3 Resources
Media pembelajaran ini bernama Magic Box. Magic Box adalah  sebuah media berupa kotak hitam persegi dengan sisi depannya diberi lubang. Terdapat lampu indicator BENAR SALAH dimana indicator salah ditandai dengan lampu merah kemudian indicator benar ditandai dengan lampu hijau yang masing-masing memiliki suara atau bunyi yang telah disesuaikan. Anak akan menebak nama benda yang dikeluarkan dari kotak tersebut.

Alat dan Bahan :
1.      Untuk Membuat Box, alat yang digunakan antara lain :
-          Kotak kardus
-          Gunting
-          Solasi
-          Lem
-          Penggaris
-          Kain berwarna hitam

2.      Untuk Membuat Rangkaian Lampu Indikator BENAR SALAH, alat dan bahan yang digunakan antara lain :
-          2 lampu indicator (berwarna hijau dan merah)
-          Kabel penghubung secukupnya
-          Saklar
-          Baterai
-          Isolator

3.      Untuk Membuat Bentuk Bangun Ruang, alat dan bahan yang digunakan antara lain :
-          Kertas karton
-          Model bangun ruang
-          ATK

4.      Peralatan lain yang dibutuhkan
-          LCD

2.3.4 Outcomes
1) Setelah menggunakan media anak mampu mengenali beberapa macam bangun ruang, menyebutkan beberapa nama bangun ruang
2)  Masih terdapat beberapa nama bangun ruang yang belum dikenal oleh anak. Maka hal ini perlu ditindak lanjuti dengan cara mengajarkan anak tentang bangun ruang menggunakan media pembelajaran dengan mengulang-ulang dalam menebak nama-nama bangun ruang.



BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Media dalam proses pembelajaran merujuk pada perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima pesan, merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan sehingga terdorong serta terlibat dalam pembelajaran. Proses pembelajaran pada dasarnya juga merupakan proses komunikasi, sehingga media yang digunakan dalam pelajaran disebut media pembelajaran.
Secara umum manfaat media dalam pembelajaran adalah memperlancar interaksi guru dan siswa dengan maksud membentu siswa belajar secara optimal.

3.2  Saran
§  Diharapkan dengan adanya media pembelajaran, penyampaian materi pembelajaran dapat diseragamkan dan pembelajaran menjadi lebih menarik.
§  Dengan adanya media pembelajaran, proses pembelajaran harus lebih interaktif. Terdapat komunikasi dua arah secara aktif antara guru dan siswa.
§  Dengan adanya media pembelajaran, diharapkan jumlah waktu belajar mengajar dapat dikurangi. Seringkali guru banyak menghabiskan waktu untuk menjelaskan materi ajar. Padahal waktu yang dihabiskn tidak perlu sebanyak itu jika memanfaatkan media pembelajaran dengan baik.
§  Dengan media, proses pembelajaran menjadi lebih menarik. Dan hal ini dapat meningkatkan kecintaan dan apresiasi siswa terhadap ilmu pengetahuan dan proses pencarian ilmu.
§  Diharapkan peran guru dapat berubah ke arah yang lebih positif dan produktif. Dengan media, guru tidak perlu mengulang-ulang penjelasan dan mengurangi penjelasn verbal (lisan). sehingga guru dapat memberikan perhatian lebih banyak kepada aspek pemberian motivasi, perhatian, bimbingan dan sebagainya



DAFTAR PUSTAKA
1.      Assjari, Musjafak. 1995. Orthopedagogik Anak Tunadaksa. Jakarta : Depdikbud

1 komentar: