BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Briggs (1977)
menyatakan bahwa media pembelajaran adalah sarana fisik untuk menyampaikan isi
atau materi pembelajaran seperti : buku, film, video dan sebagainya. Media pembelajaran secara umum adalah alat
bantu proses belajar mengajar yang berguna untuk memudahkan proses belajar
mengajar, dalam rangka mengefektifkan komunikasi antara guru dan siswa. Proses
ini membutuhkan guru yang mampu menyelaraskan antara media pembelajaran dan
metode pembelajaran.
Pemakaian media pembelajaran
dalam proses belajar mengajar juga dapat membangkitkan keinginan dan minat yang
baru bagi siswa, membangkitkan motivasi belajar, dan bahkan membawa pengaruh
psikologis terhadap siswa. Pada Anak Berkebutuhan Khusus penggunaan media
pembelajaran sangat diperlukan. Sebab anak-anak merupakan anak-anak yang
relative mengalami hambatan dalam perkembangannya. Mereka sering menghadapi
berbagai macam masalah, salah satunya di bidang akademik atau kognitif. Sebagai alat
bantu dalam mengajar, media diharapkan dapat memberikan pengalaman konkret,
motivasi belajar, mempertinggi daya serap dan retensi belajar siswa.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian Anak Tunadaksa?
2. Apa
pengertian media pembelajaran?
3. Bagaimana
pengembangan media pembelajaran bagi Anak Tunadaksa?
1.3 Tujuan
1. Mahasiswa
mampu menjelaskan pengertian Anak Tunadaksa
2. Mahasiswa
mampu menjelaskan pengertian media pembelajaran
3. Mahasiswa
mampu menjelaskan pengembangan media pembelajaran bagi Anak Tunadaksa
4. Mahasiswa
mengetahui konsep media pembelajaran
bagi Anak Tunadaksa
5. Mahasiswa
mampu membuat media pembelajaran Anak Tunadaksa
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Anak Tunadaksa
Anak
tunadaksa sering disebut dengan istilah anak cacat tubuh, cacat fisik, dan
cacat ortopedi. Istilah tunadaksa berasal dari kata “tuna yang berarti rugi
atau kurang dan daksa yang berarti tubuh“. Tunadaksa adalah anak yang memiliki
anggota tubuh tidak sempurna, sedangkan istilah cacat tubuh dan cacat fisik
dimaksudkan untuk menyebut anak cacat pada anggota tubuhnya, bukan cacat
indranya. Selanjutnya istilah cacat ortopedi terjemahan dari bahasa Inggris
orthopedically handicapped. Orthopedic mempunyai arti yang berhubungan dengan
otot, tulang, dan persendian. Dengan demikian, cacat ortopedi kelainannya
terletak pada aspek otot, tulang dan persendian atau dapat juga merupakan
akibat adanya kelainan yang terletak pada pusat pengatur sistem otot, tulang
dan persendian.
Anak
tunadaksa dapat didefinisikan sebagai penyandang bentuk kelainan atau kecacatan
pada sistem otot, tulang dan persendian yang dapat mengakibatkan gangguan
koordinasi, komunikasi, adaptasi, mobilisasi, dan gangguan perkembangan
keutuhan pribadi. Salah satu definisi mengenai anak tunadaksa menyatakan bahwa
anak tunadaksa adalah anak penyandang cacat jasmani yang terlihat pada kelainan
bentuk tulang, otot, sendi maupun
2.1.1 Klasifikasi Anak Tunadaksa
Agar
lebih mudah memberikan layanan terhadap anak tunadaksa, perlu adanya sistem
penggolongan (klasifikasi). Penggolongan anak tunadaksa bermacam-macam. Salah
satu diantaranya dilihat dari sistem kelainannya yang terdiri dari (1) kelainan
pada sistem cerebral (cerebral system) dan (2) kelainan pada sistem otot dan
rangka (musculus skeletal system).
Penyandang
kelainan pada sistem cerebral, kelainannya terletak pada sistem saraf pusat,
seperti cerebral palsy (CP) atau kelumpuhan otak. Cerebral palsy ditandai oleh
adanya kelainan gerak, sikap atau bentuk tubuh, gangguan koordinasi,
kadang-kadang disertai gangguan psikologis dan sensoris yang disebabkan oleh
adanya kerusakan atau kecacatan pada masa perkembangan otak. Soeharso (1982)
mendefinisikan cacat cerebral palsy sebagai suatu cacat yang terdapat pada
fungsi otot dan urat saraf dan penyebabnya terletak dalam otak. Kadang-kadang
juga terdapat gangguan pada pancaindra, ingatan, dan psikologis (perasaan).
Menurut
derajat kecacatannya, cerebral palsy diklasifikasikan menjadi (1) ringan,
dengan ciri-ciri, yaitu dapat berjalan tanpa alat bantu, bicara jelas, dan
dapat menolong diri ; (2) sedang, dengan ciri-ciri : membutuhkan bantuan untuk
latihan berbicara, berjalan, mengurus diri, dan alat-alat khusus, seperti brace
; dan (3) berat, dengan ciri-ciri, yaitu membutuhkan perawatan tetap dalam
ambulasi, bicara, dan menolong diri.
Sedangkan
menurut letak kelainan di otak dan fungsi geraknya cerebral palsy dibedakan
atas : (1) spastik, dengan ciri seperti terdapat kekakuan pada sebagian atau
seluruh ototnya ; (2) dyskenisia, yang meliputi athetosis (penderita
memperlihatkan gerak yang tidak terkontrol), rigid (kekakuan pada seluruh tubuh
sehingga sulit dibengkokkan) ; tremor (getaran kecil yang terus menerus pada
mata, tangan atau pada kepala) ; (3) Ataxia (adanya gangguan keseimbangan,
jalannya gontai, koordinasi mata dan tangan tidak berfungsi ; serta (4) jenis
campuran (seorang anak mempunyai kelainan dua atau lebih dari tipe-tipe di atas).
Golongan
anak tunadaksa berikut ini tidak mustahil akan belajar bersama dengan anak
normal dan banyak ditemukan pada kelas-kelas biasa. Penggolongan anak tunadaksa
dalam kelompok kelainan sistem otot dan rangka tersebut adalah sebagai berikut.
1. Poliomyelitis
Ini
merupakan suatu infeksi pada sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh virus
polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan sifatnya menetap. Dilihat dari sel-sel
motorik yang rusak, kelumpuhan anak polio dapat dibedakan menjadi :
a. Tipe spinal, yaitu kelumpuhan pada otot-otot
leher, sekat dada, tangan dan kaki
b. Tipe bulbair, yaitu kelumpuhan fungsi
motorik pada satu atau lebih saraf tepi dengan ditandai adanya gangguan
pernapasan
c.
Tipe bulbispinalis, yaitu gabungan
antara tipe spinal dam bulbair;
d. Encephalitis yang biasanya disertai
dengan demam, kesadaran menurun, tremor, dan kadang-kadang kejang.
Kelumpuhan
pada polio sifatnya layu dan biasanya tidak menyebabkan gangguan kecerdasan
atau alat-alat indra. Akibat penyakit poliomyelitis adalah otot menjadi kecil
(atropi) karena kerusakan sel saraf, adanya kekakuan sendi (kontraktur),
pemendekan anggota gerak, tulang belakang melengkung ke salah satu sisi,
seperti huruf S (Scoliosis), kelainan telapak kaki yang membengkok ke luar atau
ke dalam, dislokasi (sendi yang ke luar dari dudukannya), lutut melenting ke
belakang (genu recorvatum).
2. Muscle Dystrophy
Jenis
penyakit yang mengakibatkan otot tidak berkembang karena mengalami kelumpuhan
yang sifatnya progresif dan simetris. Penyakit ini ada hubungannya dengan
keturunan.
3. Spina bifida
Merupakan
jenis kelainan pada tulang belakang yang ditandai dengan terbukanya satu atau 3
ruas tulang belakang dan tidak tertutupnya kembali selama proses perkembangan.
Akibatnya, fungsi jaringan saraf terganggu dan dapat mengakibatkan kelumpuhan,
hydrocephalus, yaitu pembesaran pada kepala karena produksi cairan yang
berlebihan. Biasanya kasus ini disertai dengan ketunagrahitaan (Black, 1975).
2.1.2 Karakteristik Anak Tunadaksa
Karakteristik
anak tunadaksa yang akan dibahas dalam hal ini adalah berikut ini.
1.
Karakteristik Akademik
Pada
umumnya tingkat kecerdasan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem
otot dan rangka adalah normal sehingga dapat mengikuti pelajaran sama dengan
anak normal, sedangkan anak tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem
cerebral, tingkat kecerdasannya berentang mulai dari tingkat idiocy sampai
dengan gifted. Hardman (1990) mengemukakan bahwa 45% anak cerebral palsy
mengalami keterbelakangan mental (tunagrahita), 35% mempunyai tingkat
kecerdasan normal dan di atas normal. Sisanya berkecerdasan sedikit di bawah
rata-rata. Selanjutnya, P. Seibel (1984:138) mengemukakan bahwa tidak ditemukan
hubungan secara langsung antara tingkat kelainan fisik dengan kecerdasan anak.
Artinya, anak cerebral palsy yang kelainannya berat, tidak berarti
kecerdasannya rendah.
Selain
tingkat kecerdasan yang bervariasi anak cerebral palsy juga mengalami kelainan
persepsi, kognisi, dan simbolisasi. Kelainan persepsi terjadi karena saraf
penghubung dan jaringan saraf ke otak mengalami kerusakan sehingga proses
persepsi yang dimulai dari stimulus merangsang alat maka diteruskan ke otak
oleh saraf sensoris, kemudian ke otak (yang bertugas menerima dan menafsirkan,
serta menganalisis) mengalami gangguan. Kemampuan kognisi terbatas karena
adanya kerusakan otak sehingga mengganggu fungsi kecerdasan, penglihatan,
pendengaran, bicara, rabaan, dan bahasa, serta akhirnya anak tersebut tidak
dapat mengadakan interaksi dengan lingkungannya yang terjadi terus menerus
melalui persepsi dengan menggunakan media sensori (indra). Gangguan pada
simbolisasi disebabkan oleh adanya kesulitan dalam menerjemahkan apa yang
didengar dan dilihat. Kelainan yang kompleks ini akan mempengaruhi prestasi
akademiknya.
2.
Karakteristik Sosial/Emosional
Karakteristik
sosial/emosional anak tunadaksa bermula dari konsep diri anak yang merasa
dirinya cacat, tidak berguna, dan menjadi beban orang lain yang mengakibatkan
mereka malas belajar, bermain dan perilaku salah suai lainnya. Kehadiran anak
cacat yang tidak diterima oleh orang tua dan disingkirkan dari masyarakat akan
merusak perkembangan pribadi anak. Kegiatan jasmani yang tidak dapat dilakukan
oleh anak tunadaksa dapat mengakibatkan timbulnya problem emosi, seperti mudah
tersinggung, mudah marah, rendah diri, kurang dapat bergaul, pemalu,
menyendiri, dan frustrasi. Problem emosi seperti itu, banyak ditemukan pada
anak tunadaksa dengan gangguan sistem cerebral. Oleh sebab itu, tidak jarang
dari mereka tidak memiliki rasa percaya diri dan tidak dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan sosialnya.
3.
Karakteristik Fisik/Kesehatan
Karakteristik
fisik/kesehatan anak tunadaksa biasanya selain mengalami cacat tubuh adalah
kecenderungan mengalami gangguan lain, seperti sakit gigi, berkurangnya daya
pendengaran, penglihatan, gangguan bicara, dan lain-lain. Kelainan tambahan itu
banyak ditemukan pada anak tunadaksa sistem cerebral. Gangguan bicara
disebabkan oleh kelainan motorik alat bicara (kaku atau lumpuh), seperti lidah,
bibir, dan rahang sehingga mengganggu pembentukan artikulasi yang benar.
Akibatnya, bicaranya tidak dapat dipahami orang lain dan diucapkan dengan susah
payah. Mereka juga mengalami aphasia sensoris, artinya ketidakmampuan bicara
karena organ reseptor anak terganggu fungsinya, dan aphasia motorik, yaitu
mampu menangkap informasi dari lingkungan sekitarnya melalui indra pendengaran,
tetapi tidak dapat mengemukakannya lagi secara lisan. Anak cerebral palsy
mengalami kerusakan pada pyramidal tract dan extrapyramidal yang berfungsi
mengatur sistem motorik. Tidak heran mereka mengalami kekakuan, gangguan
keseimbangan, gerakan tidak dapat dikendalikan, dan susah berpindah tempat.
Dilihat dari aktivitas motorik, intensitas gangguannya dikelompokkan atas
hiperaktif yang menunjukkan tidak mau diam, gelisah; hipoaktif yang menunjukkan
sikap pendiam, gerakan lamban, dan kurang merespons rangsangan yang diberikan ;
dan tidak ada koordinasi, seperti waktu berjalan kaku, sulit melakukan kegiatan
yang membutuhkan integrasi gerak yang lebih halus, seperti menulis, menggambar,
dan menari.
2.2 Pengertian Media Pembelajaran
Media adalah kata jamak dari medium, yang artinya perantara. Menurut
Schramm (1977), media pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan (informasi)
yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Sedang menurut Arief S.
Sadiman (1986) media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan
untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang
pikiran, perasaan, perhatian dan minat siswa sehingga belajar proses belajar
terjadi
2.2.1 Manfaat Media Pembelajaran
Secara
umum manfaat media dalam pembelajaran adalah memperlancar interaksi guru dan
siswa, dengan maksud membantu siswa belajar secara optimal. Namun demikian,
secara khusus manfaat media pembelajaran dikemukakan oleh Kemp dan Dayton
(1985), yaitu :
1.
Penyampaian materi pembelajaran dapat diseragamkan
Guru
mungkin mempunyai penafsiran yang beraneka ragam tentang sesuatu hal. Melalui
media, penafsiran yang beragam ini dapat direduksi dan disampaikan kepada siswa
secara seragam.
2.
Proses pembelajaran menjadi lebih menarik
Media
dapat menyampaikan informasi yang dapat didengar (audio) dan dapat dilihat
(visual), sehingga dapat mendeskripsikan prinsip, konsep, proses atau prosedur
yang bersifat abstrak dan tidak lengkap menjadi lebih jelas dan lengkap.
3.
Proses pembelajaran menjadi lebih interaktif
Jika
dipilih dan dirancang dengan benar, media dapat membantu guru dan siswa
melakukan komunikasi dua arah secara aktif. Tanpa media, guru mungkin akan
cenderung berbicara “satu arah” kepada siswa.
4.
Jumlah waktu belajar-mengajar dapat dikurangi
Sering
kali terjadi, para guru banyak menghabiskan waktu untuk menjelaskan materi
ajar. Padahal waktu yang dihabiskan tidak perlu sebanyak itu, jika mereka
memanfaatkan media pembelajaran dengan baik.
5.
Kualitas belajar siswa dapat ditingkatkan
Penggunaan
media tidak hanya membuat proses pembelajaran lebih efisien, tetapi juga
membantu siswa menyerap materi ajar secara lebih mendalam dan utuh.
6.
Proses pembelajaran dapat terjadi dimana saja dan kapan saja
Media
pembelajaran dapat dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat belajar
dimana saja dan kapan saja mereka mau, tanpa tergantung pada keberadaan guru.
7.
Sikap positif siswa terhadap proses belajar dapat ditingkatkan
Dengan
media, proses pembelajaran menjadi lebih menarik. Dan hal ini dapat
meningkatkan kecintaan dan apresiasi siswa terhadap ilmu pegetahuan dan proses
pencarian ilmu.
8.
Peran guru dapat berubah ke arah yang lebih positif dan produktif
Dengan
media, guru tidak perlu mengulang-ulang penjelasan dan mengurangi penjelasan
verbal (lisan), sehingga guru dapat memberikan perhatian lebih banyak kepada
aspek pemberian motivasi, perhatian, bimbingan dan sebagainya.
2.3 Pengembangan Media Pembelajaran
Untuk Anak Tunadaksa
2.3.1 Goals
1) Anak mampu mengelompokkan berbagai
bangun ruang sederhana (balok, prisma, tabung, bola, dan kerucut)
2) Anak mampu menentukan urutan
benda-benda yang sejenis menurut besarnya
(Sesuai dengan KD
SDLB-D Kelas 1 Semester 1. Mata pelajaran Matematika, Geometri dan Pengukuran)
2.3.2 Conditions
1. Disediakan
sebuah kotak hitam persegi dengan sisi depannya diberi lubang. Kira-kira besar
lubang dapat dilewati oleh tangan orang dewasa. Kemudian, disediakan juga lampu
indicator BENAR SALAH
dimana indicator salah ditandai dengan lampu merah kemudian indicator benar
ditandai dengan lampu hijau yang masing-masing memiliki suara atau bunyi yang
telah disesuaikan.
2. Selain
itu, disediakan pula tampilan materi yang akan diajarkan dalam bentuk slide
show menggunakan LCD.
3. Anak
diintruksikan untuk menebak bangun ruang yang ditampilkan di layar. Jika anak
menebak dengan benar maka lampu hijau akan menyala disertai dengan bunyi yang
khas. Sebaliknya, jika anak menebak salah maka lampu merah akan menyala
disertai dengan bunyi yang khas juga.
4. Selanjutnya,
anak mengurutkan bangun ruang yang
sejenis berdasarkan besarnya. Disediakan tiga bangun ruang yang sejenis dengan
ukuran yang berbeda. Kemudian, anak menyusun bangun ruang tersebut dari yang
terbesar ke yang terkecil dengan bantuan guru.
2.3.3 Resources
Media
pembelajaran ini bernama Magic Box. Magic Box adalah sebuah media berupa kotak hitam persegi
dengan sisi depannya diberi lubang. Terdapat lampu indicator BENAR SALAH dimana
indicator salah ditandai dengan lampu merah kemudian indicator benar ditandai
dengan lampu hijau yang masing-masing memiliki suara atau bunyi yang telah
disesuaikan. Anak akan menebak nama benda yang dikeluarkan dari kotak tersebut.
Alat
dan Bahan :
1. Untuk
Membuat Box, alat yang digunakan antara lain :
-
Kotak kardus
-
Gunting
-
Solasi
-
Lem
-
Penggaris
-
Kain berwarna hitam
2.
Untuk Membuat Rangkaian Lampu Indikator BENAR SALAH, alat dan bahan yang digunakan antara
lain :
-
2 lampu
indicator (berwarna hijau dan merah)
-
Kabel
penghubung secukupnya
-
Saklar
-
Baterai
-
Isolator
3. Untuk
Membuat Bentuk Bangun Ruang, alat dan bahan yang digunakan antara lain :
-
Kertas karton
-
Model bangun ruang
-
ATK
4. Peralatan
lain yang dibutuhkan
-
LCD
2.3.4 Outcomes
1) Setelah menggunakan media anak mampu
mengenali beberapa macam bangun ruang, menyebutkan beberapa nama bangun ruang
2) Masih terdapat beberapa nama bangun
ruang yang belum dikenal oleh anak. Maka hal ini perlu ditindak lanjuti dengan
cara mengajarkan anak tentang bangun ruang menggunakan media pembelajaran
dengan mengulang-ulang dalam menebak nama-nama bangun ruang.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Media dalam
proses pembelajaran merujuk pada perantara atau pengantar sumber pesan dengan
penerima pesan, merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan sehingga
terdorong serta terlibat dalam pembelajaran. Proses pembelajaran pada dasarnya
juga merupakan proses komunikasi, sehingga media yang digunakan dalam pelajaran
disebut media pembelajaran.
Secara umum
manfaat media dalam pembelajaran adalah memperlancar interaksi guru dan siswa
dengan maksud membentu siswa belajar secara optimal.
3.2 Saran
§ Diharapkan
dengan adanya media pembelajaran, penyampaian materi pembelajaran dapat
diseragamkan dan pembelajaran menjadi lebih menarik.
§ Dengan
adanya media pembelajaran, proses pembelajaran harus lebih interaktif. Terdapat
komunikasi dua arah secara aktif antara guru dan siswa.
§ Dengan
adanya media pembelajaran, diharapkan jumlah waktu belajar mengajar dapat dikurangi.
Seringkali guru banyak menghabiskan waktu untuk menjelaskan materi ajar.
Padahal waktu yang dihabiskn tidak perlu sebanyak itu jika memanfaatkan media
pembelajaran dengan baik.
§ Dengan
media, proses pembelajaran menjadi lebih menarik. Dan hal ini dapat
meningkatkan kecintaan dan apresiasi siswa terhadap ilmu pengetahuan dan proses
pencarian ilmu.
§ Diharapkan
peran guru dapat berubah ke arah yang lebih positif dan produktif. Dengan
media, guru tidak perlu mengulang-ulang penjelasan dan mengurangi penjelasn
verbal (lisan). sehingga guru dapat memberikan perhatian lebih banyak kepada
aspek pemberian motivasi, perhatian, bimbingan dan sebagainya
DAFTAR PUSTAKA
1. Assjari,
Musjafak. 1995. Orthopedagogik Anak
Tunadaksa. Jakarta : Depdikbud
Terima kasih infonya
BalasHapus